Tuesday, June 30, 2015

Keindahan Ilmu

Bismillah, segenap jiwa yang diselimuti raga sujud mengharap Keridhaanmu Ya Rabb. Sungguh Engkau yang Maha menggenggam Hati serta Perasaannya yang terdalam, yang Maha mengetahui rahasia dari sebuah rahasia. Tak ada yang tersembunyi oleh pengelihatan-Mu Ya Rabb. Semua yang ku ketahui adalah hal yang sebenarnya tak ku ketahui. Tak ada sedikitpun kuasaku atas ke-Kahakikian Ilmu-Mu, sungguh semesta pun adalah sebutir kecil dari cakrawala ilmu. Terhampar disekitar, tertanam dalam tanah, melayang di atas biru atau hitam langit, tumbuh dan bersemi dalam rindang bunga cinta. "Mencarilah maka akan kau temukan kenimatan Ilmu. Ilmu yang mendekatkanmu dengan Sang Pencipta, ilmu yang memuliakanmu diantara orang terhormat, ilmu yang kelak akan menempatkanmu di indahnya Surga Firdaus. Tak mudah menemukannya, bukan berarti tak mungkin. Mencarilah dengan Sabar dan Ikhlas. Mencarilah dengan penuh Cinta, karena tak akan ada sedikitpun Zat yang mampu terpahami tanpa melalui Cinta. Mencintalah, niscaya Engkau akan menemukan kenikmatan sebuah pencahariaan. Jikapun kau tersesat maka tersesatlah dalam kebaikan.
Share:

Friday, June 26, 2015

Matinya Seorang Demonstran

Oleh Agus Noor

PAHLAWAN hanyalah pecundang yang beruntung. Ratih selalu tak bisa melupakan kata-kata itu setiap kali melewati jalan ini. Telah banyak yang berubah. Tak ada lagi deretan kios koran, warung gado-gado, dan penjual bensin eceran di pojokan. Bangunan kuno asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi kanan telah menjadi ruko bergaya modern. Waktu mengubah gedung-gedung, tapi tidak mampu mengubah kenangannya.

Ratih tersenyum membaca nama jalan itu. Teringat apa yang dikatakan Eka. ”Banyak orang ingin jadi pahlawan, agar namanya dijadikan nama jalan. Mungkin, itulah satu-satunya keberuntungan menjadi pahlawan di negara ini.” Ada sinisme dalam kata-katanya. Tapi itulah, yang ketika pertama kali bertemu dalam satu diskusi, membuatnya suka pada Eka. Dia selalu menarik perhatian dengan pernyataan-pernyataan yang disertai kelakar. ”Militerisme pasti mati di Republik ini. Dan aku adalah orang sipil pertama yang akan menjadi Panglima ABRI. Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi Bintang Tujuh. Lumayan, bisa buat obat sakit kepala…” Saat itu Presiden Soeharto memang baru mendapat gelar Jenderal Besar Bintang Lima. Dan Bintang Tujuh adalah merek puyer obat sakit kepala.

Ratih kemudian tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri. ”Aku kurang flamboyan sebagai aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil berorasi di mimbar. Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona para demonstran. ”Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan, ada yang memikirkan. Aku memilih yang kedua,” katanya. ”Mimbar dan panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar hanya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu turun panggung, mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”

Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang menurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti berani meneguk racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penulisnya seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia adalah mahasiswa filsafat yang merasa lebih hebat dari Socrates yang dipujanya. ”Lakon yang kamu tulis itu membuktikan kamu memandang hidup ini getir. Makanya selalu sinis.”
”Sinis bagaimana?”
”Ya, hampir semua hal kamu tanggapi dengan nyinyir…”
”Jangan salah,” Eka menatapnya tajam. ”Kamu harus membedakan antara filsuf dan orang biasa. Kalau orang biasa sinis, akan dianggap nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis, itu disebut kritis.”
”Gundulmu, Ka!!
Eka tertawa dan memeluk pundaknya. Entah kenapa, saat itu ia tak mencoba mengelak.

Laki-laki romantis adalah laki-laki yang bisa membuat perempuan tertawa. Ratih teringat kalimat di sebuah buku: menikahlah dengan laki-laki pertama yang membuatmu tertawa. Ia lupa judulnya. Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat. Tidak membawa bunga, tapi martabak. ”Pertama, mesti kutegaskan,” katanya. ”Aku sengaja datang malam Jumat, karna tahu, malam Minggu kamu sudah milik orang lain. Aku tak berhak mengganggunya. Seseorang yang bahagia adalah seseorang yang diberi kesempatan memilih dalam hidup. Maka aku memberimu kesempatan, agar kamu bisa memilih sendiri kebahagiaanmu. Tak perduli, apakah bagimu nantinya aku pilihan kedua atau pertama.”
”Jadi kamu tahu aku sudah punya pacar?”
”Kalau perempuan semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada selera semua laki-laki di dunia ini.”
Ratih tertawa.
”Dan kedua, soal martabak ini. Sebagai anak kost, aku mesti yakin, bahwa aku tidak membelikanmu sesuatu yang akan sia-sia. Itu sebabnya aku membawakanmu martabak.”
”Kenapa?”
”Karna bila kamu tak suka, aku bisa memakannya sendiri.”

Share:
Kita dalam Kata

BTemplates.com

Powered by Blogger.

Berita Harian

Pages - Menu

Popular Posts

Popular Posts