Pengaruh Teori Dualisme dan Monisme dalam Prakteknya di
Indonesia
Dasar berlakunya hukum internasional terdapat dalam dua
pandangan awal yang dinamakan voluntarisme,
yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan bahkan persoalan ada atau
tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara yang menjadi dasar dari
teori dualisme. Pandangan berikutnya adalah obyektivitas yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional ini lepas dari kemauan negara yang menjadi dasar teori monisme.
Pandangan-pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang
berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya
hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang Hukum
Internasionaldup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan obyektivitas menganggapnya
sebagai dua bagain dari satu kesatuan perangkat hukum.[1]
Pandangan dualisme ini mempunyai
akibat-akibat yang penting. Salah satu akibat pokok yang terpenting dari pada
teori dualism ini adalah bahwa menurut pandangan ini kaedah-kaedah dari perangkat
hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada perangkat
hukum yang lain. Dengan perkataan lain di dalam teori dualism tidak ada tempat
bagi persoalan Hukum Internasionalerarki anatara hukum nasional dan hukum
internasioanl karena pada hakikatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja
berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang
lainnya.
Akibat kedua bahwa menurut pandangan
ini tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin
hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain yang penting pula dari pada
pandangan dualism ini adalah bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan
transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan
hukum nasional.
Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia.
Pemuka-pemuka aliran-aliran ini yang utama adalah menulis buku “Volkerrecht und Landersrecht” (1899) dan
Anzilotti, pemuka aliran positivism dari Italia yang menulis buku “Corso di
Diritto Internazionale” (1923). Menurut paham dualisme ini yang bersumber
pada teori bahwa daya ikat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
system atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Alasan-alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualism
bagi pandangan yang tersebut di atas didasarkan pada alasan-alasan formil
maupun alasan-alasan yang berdasarkan kenyataan. Di antara alasan-alasan yang
terpenting dikemukakan hal-hal sebagai berikut: (1) kedua perangkat hukum
tersebut yakni hukum internasional dan hukum nasional mempunyai sumber yang
berlainan. Hukum nasional bersumber pada kehendak negara, sedangkan hukum
internasional bersumber pada kehendak bersama (masyarakat negara); (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum nasional
adalah perorangan / badan hukum (perdata/publik), sedangkan subyek hukum
internasional adalah negara; (3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum
internasional menampakkan pula perbedaan di dalam strukturnya (eksekutif,
legislative, yudikatif).
Akibat hukum dari Dualisme adalah
•
Kedua sistem tersebut tidak mungkin
mendasarkan / bersumber kepada satu sama lain. (tidak ada persoalan Hukum
Internasionalerarki)
•
Tidak mungkin ada pertentangan diantaranya,
yang ada hanya penunjukan kembali (renvoi).
•
Untuk memberlakukan hukum internasional ke
dalam hukum nasional, diperlukan transformasi hukum.
•
Kritik terhadap teori dualisme.
Paham
monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari pada seluruh
hukum yang mengatur Hukum Internasionaldup manusia. Dalam rangka pemikiran ini
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian yang dari pada satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Dapat disederhanakan, paham
monisme beranggapan bahwa hanya ada satu sistem hukum di dunia yang
mengatur kehidupan manusia: HUKUM
internasional dan hukum nasional adalah satu kesatuan sistem hukum; menimbulkan
persoalan hubungan Hukum Internasionalearki atau keutamaan: Monisme dengan
primat hukum nasional & Monisme dengan primat hukum internasional.
Pandangan dualisme ini
dibantah oleh golongan monism dengan alasan bahwa:
a.
Walaupun
kedua system hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, namun subjek hukumnya
tetap sama.
b.
Sama-sama
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Disaat diakuinya hukum internasional
sebagai system hukum. Maka tidaklah mungkin untuk dibantah bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum
dank arena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan
mengikat apakah terhadap individu-individu ataupun negara.[2]
Monisme
Primat Hukum Nasional, beranggapan bahwa Hukum Nasional adalah
hukum yang utama daripada Hukum Internasional; Hukum Internasional merupakan
lanjutan dari hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Dan Beranggapan
bahwa hukum internasional bersumber kepada hukum nasional
Monisme Primat Hukum
Internasional beranggapan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang lebih tinggi daripada hukum nasional; beranggapan
bahwa hukum nasional tunduk kepada hukum internasional & dasar mengikatnya
berasal dari suatu “pendelegasian” wewenang dari hukum internasional kelemahan
paham monisme primat hukum internasional
Tanggapan
terhadap kedua teori
•
Tidak memberikan
jawaban yang memuaskan mengenai hubungan HI dan HN
•
Praktek tidak
menunjukkan aliran mana yang lebih dominan
•
Hubungan HI dan HN
diserahkan pada praktek masing-masing negara
Sikap HI terhadap HN
•
HI pada dasarnya
tidak menyampingkan HN
•
Negara tidak dapat
menggunakan HN sebagai pembenaran untuk mengelak kewajiban HI
•
Psl 27 Konvensi Wina:
“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for
its failure to perform a treaty”
Sikap HN terhadap HI
•
Sulit disimpulkan
karena hukum domestik sangat bervariasi dan sering tidak jelas dan tidak
konsisten
•
Perlu mempelajari
praktek negara-negara dalam hal perjanjian, kebiasaan internasional dan
prinsip-prinsip hukum umum
Praktek Indonesia
•
Cenderung menganut
paham monisme dengan primat hukum internasional
-- Hukum positf Indonesia: UU no.
24 Tahun 2000
-- Implementasi Perjanjian/Kovensi
Internasional
-- Sikap terhadap Kebiasaan
Internasional, Praktek Pengadilan
•
Kasus-kasus :
Tembakau Bremen, Mobnas, Konsepsi Nusantara
0 komentar:
Post a Comment