Berdasarkan hukum
internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan atau
kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian
internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Dengan demikian,
secara umum, unsur unsur tanggung jawab negara adalah :
q Ada perbuatan atau kelalaian (act
or omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu
negara;
q Perbuatan atau kelalaian itu
merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik
kewajiban itu lahir dari
perjanjian maupun dari sumber hukum internasional
lainnya.
Hingga akhir Abad ke-20 masih
dipegang pendapat bahwa untuk lahirnya tanggung jawab negara tidak cukup dengan
adanya dua unsur di atas melainkan harus ada unsur kerusakan atau kerugian (damage
or loss) pada pihak atau negara lain. Namun, dalam perkembangannya hingga
saat ini, tampaknya unsur “kerugian” itu tidak lagi dianggap sebagai keharusan
dalam setiap kasus untuk lahirnya tanggung jawab negara. Contohnya, pelanggaran
terhadap ketentuan hukum internasional yang berkenaan dengan hak asasi manusia,
jelas merupakan perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional,
walaupun tidak merugikan pihak atau negara lain. Pasal 24 Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi
Manusia menyatakan, setiap negara peserta diperbolehkan mengajukan keberatan
terhadap negara peserta lain tanpa mengharuskan negara yang mengajukan
keberatan itu sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh
negara yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut.
Pasal 3 rancangan konvensi
tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh ILC (International Law
Commission) menghapus/meniadakan syarat kerugian dalam setiap definisinya
mengenai perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional.
Tentang Pertautan (Imputability)
Persoalan pertautan (imputability)
menjadi penting karena ia merupakan syarat mutlak bagi ada-tidaknya tanggung
jawab suatu negara dalam suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum
internasional. Pertautan itu dianggap ada bilamana perbuatan atau kelalaian
(yang melanggar kewajiban hukum internasional) itu dilakukan oleh suatu organ
negara atau pihak-pihak yang memperoleh status sebagai organ negara. Pengertian ‘organ” di sini harus diartikan
merujuk pada seorang pejabat negara, departemen pemerintahan dan
badan-badannya.
Teori-teori
tentang Tanggung Jawab Negara
Pada dasarnya, ada dua macam
teori pertanggungjawaban negara, yaitu :
q Teori Risiko (Risk Theory)
yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau
strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility),
yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang
menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of
untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan
yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama
resmi konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage
caused by Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching
state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di
permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang
ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
q Teori Kesalahan (Fault
Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective
responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability
based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru
dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan
itu.
Kecenderungan yang berkembang
akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai
kasus. Dengan kata lain, dalam
perkembangan di berbagai lapangan hukum internasional, ada kecenderungan untuk
menganut prinsip tanggung jawab mutlak.
Tentang Pembelaan dan
Pembenaran (Defences
and Justifications)
Ada dua hal yang kemungkinan
dapat membebaskan suatu negara dari kewajiban untuk bertanggung jawab, yakni
“Pembelaan” (Defences) dan “Pembenaran” (Justification). Menurut rancangan konvensi tentang tanggung
jawab negara yang dibuat oleh ILC tahun 1970 dan 1980, yang termasuk dalam
katagori pembelaan adalah jika:
- Suatu negara dipaksa oleh negara
lain untuk melakukan perbuatan yang dapat dipersalahkan atau melawan
hukum;
- Suatu negara melakukan tindakan
itu telah dengan persetujuan negara yang menderita kerugian;
- Suatu negara melakukan tindakan
itu semata-mata sebagai upaya perlawanan yang diperbolehkan (permissible
countermeasures); namn dalam hal ini tidak termasuk upaya perlawanan
dengan menggunakan kekuatan senjata;
- Para pejabat negara itu bertindak
karena force majeure atau keadaan yang sangat membahayakan (extreme
distress) dan tidak ada maksud sama sekali untuk menimbulkan akibat
yang membahayakan .
Sedangkan yang dikatagorikan
sebagai pembenaran hanya ada dua yaitu “keharusan” (necessity) dan “pembelaan
diri” (self-defence).
Namun, dalam hubungan ini
penting untuk dicatat penegasan bahwa “keharusan” (necessity) tidak bisa
dijadikan pembenaran bagi pelanggaran kewajiban internasional suatu negara,
kecuali :
- tindakan itu merupakan
satu-satunya cara untuk menyelamatkan suatu kepentingan esensial negara
itu dari suatu bahaya yang sangat besar dan sudah sedemikian dekat;
- tindakan itu tidak menimbulkan
gangguan yang serius terhadap kepentingan esensial dari negara tersebut
yang di dalamnya melekat suatu kewajiban.
Sementara itu, tindakan
pembelaan diri (self-defence) dapat digunakan sebagai pembenaran
terhadap suatu tindakan jika pembelaan diri itu dilakukan sebagai pembelaan
diri yang sah sesuai dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang penting dicatat di sini adalah bukan
berarti bahwa semua tindakan pembelaan diri adalah sah, melainkan hanya
tindakan pembelaan diri yang sesuai dengan Piagam PBB saja yang dianggap
sah. Ketentuan itu juga berarti bahwa
untuk tindakan yang sama, tetapi jika tidak dilakukan dalam rangka pembelaan
diri, maka tindakan itu adalah bertentangan dengan hukum (dan karenanya tidak
dapat dijadikan alasan pembenar atau pembenaran).
0 komentar:
Post a Comment