Thursday, April 9, 2015

Otonomi Daerah: Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pemerintahan Daerah

A.      Otonomi Daerah
Perubahan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat tentunya akan mendorong terjadinya eskalasi perubahan pada tataran penyelenggaraan hukum dan pemerintahan, yakni berubahnya pola pengelolaan atau penyelenggaraan hukum dan pemerintahan yang tidak hanya terjadi pada arah pemerintahan pusat saja melalui penerapan mekanisme “check and balances”, akan tetapi juga pada arah pemerintah daerah melalui otonomi daerah. Perubahan tersebut menyangkut cara pandang dan paradigma yang dipergunakan untuk mendorong pembentukan hukum yang adil dan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis melalui penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance and good government)[1].
Konsep wilayah kesatuan yang kemudian dijadikan bentuk negara oleh Indonesia secara logis berimplikasi terhadap bentuk pemerintahan dalah hal ini bentuk pemerintahan Indonesia ialah Republik. Sebagai negara kesatuan tata penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan melimpahkan wewenang kepada tiap daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing, pergesaran sistem pemerintahan yang sentralistis menuju desentralistis merupakan kebijakan yang dianggap mampu mengakomodir keberagaman suku bangsa yang tersebar di daerah-daerah yang berada di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia demi tercapainya pemerintahan yang efisien.  
Pada dasarnya, konsep otonomi daerah dan pola pemerintahan di daerah mengikuti perkembangan teori negara dan pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam konteks bentuk negara, terdapat pola negara kesatuan dan negara federasi. Dalam model negara federal, pengalaman Amerika Serikat menunjukkan pola kenegaraan yang diinisiasi oleh daerah-daerah atau negara bagian untuk kemudian membentuk negara. Sehingga, secara asal, kekuasaan itu berasal dari daerah yang kemudian diserahkan kepada negara federal. Sedangkan, konsep negara kesatuan memperlihatkan pola negara kesatuan yang kemudian membentuk dan membagi wilayah dan kewenangannya kepada daerah-daerah. Karenanya, konteks negara kesatuan membuat pola kekuasaan Negara berada pada pusat lalu kemudian akan dibagi ke daerah. Secara substansi otonomi daerah dapat diartikan sebagai kemandirian daerah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan dan pembangunan di daerah. Istilah otonomi yang kita kembangkan tidak hanya mengarah kepada “political aspect” semata, tetapi juga memperhatikan “economic aspect” sebagai basis atau landasan mengurus rumah tangganya sendiri.[2]
Hans Kelsen berpendapat bahwa yang disebut otonomi daerah adalah suatu perpaduan secara langsung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide demokrasi. Organ-organ pembuat norma-norma daerah dipilih oleh subyek dari norma-norma ini. Sebuah contoh dari satuan daerah otonom adalah kotapraja atau kotamadya atau walikota. Ini adalah sebuah pemerintahan daerah yang otonom dan desentralistis. Desentralisasi menunjuk hanya kepada masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus daerah, dan ruang lingkup wewenang kotapraja atau kotamadya dibatasi kepada tingkatan norma-norma khusus. Tetapi kadang-kadang lembaga administratif terpilih, yakni dewan kotapraja/kotamadya, berkompeten untuk membuat norma-norma umum, yang disebut undang-undang otonom; tetapi undang-undang ini harus ada dalam kerangka undang-undang pusat, yang dibuat oleh organ legislatif negara.[3]
Tentunya tidak mudah menentukan pengertian desentralisasi. Konsepnya sangat dipengaruhi konsep keilmuan yang mendasari konteks tersebut. Namun, secara simpel, desentralisasi dapat diterjemahkan sebagai sebuah proses, it is a set of policy reforms aimed at transferring responsibilities, resources, or authority from higher to lower levels of government[4].  Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, diartikan sebagai pelimpahan urusan pemerintah pusat ke daerah dengan menggunakan beberapa asas.
Asas desentralisasi menurut beberapa pakar berbeda redaksionalnya, tetapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Menurut Joeniarto[5], desentralisasi adalah memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Amrah Muslimin[6], mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Irawan Soejito[7], mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilakasanakan.
Secara teoretis, ada beberapa model desentralisasi, yakni pertama, dekonsentrasi, yakni distribusi wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan; kedua, delegasi, yakni apa yang diartikan sebagai pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang diberikan kepada organiasasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah; ketiga, devolusi, yakni menyerahkan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; keempat, privatisasi, yakni menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta (Rondinelli dan Cheema, 1983).[8] Artinya, keempat model tersebut telah memayungi pengertian pelaksanaan desentralisasi dalam bentuk otonomi dan tugas pembantuan tersebut. Hanya saja, perlu untuk dipertahankan adanya kalimat “otonomi” yang merupakan gairah utama dari penguatan daerah yang ada selama ini. Sedangkan kata desentralisasi merupakan payung dari berbagai varian yang mungkin dari upaya mengurangi model sentralisasi. Selain itu penerapan daerah khusus dan daerah istimewa yang kemudian diterapkan otonomi khusus merupakan bentuk keberagaman suku yang sudah seharusnya ketersediaan sarana bagi daerah tersebut untuk melaksanakan nilai-nilai pneyelenggaraan yang masih hidup dan dijaga.
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan yang selama ini tersentralisasi di wilayah pemerintah pusat.  Dalam proses desentralisasi, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuaaan dari pusat ke kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterpkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul diberbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangan membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinalai mutlak harus diterapkan dalam waktu secepat-cepatnya sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah otonomi itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi juga perlu diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternaslistik, kebiajakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Pelaksanaan tata pemerintahan daerah haruslah dipahami melalui keseimbangan wewenang antara pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur di tingakat provinsi, dan Bupati dan Walikota berada di tingkap kabupaten dan kota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tiap tingkatan daerak masing-masing. Prinsip “Cheks and balances” merupakan unsur yang esnsial karena pola yang seimbang antara keduanya tentunya akan berdampak pada pelaksanaan otonomi daerah yang baik. Namun dalam konteks kontemporer, ternyata permasalahan seputar ketidak jelasan tata cara penyelenggaraan pemerintah di berbagai daearah masih terjadi, salah satu bentuk ketimpangannya adalah pemilihan kepala daerah yang banyak menuai kontroversi. Hak dan wewenang serta perbaikan hubungan pemerintah pusat dan daerah juga masih diwarnai oleh permasalahan. Perbaikan sebagaimana yang dimaksud adalah hal yang urgen bagi peneyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.  
Menurut Aminuddin Ilmar inti dari pelaksanaan otonomi adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah untuk selalu menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta secara aktif oleh masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Kewenangan daerah dapat diartikan sebagai keleluasaan untuk menggunakan dana, baik yang berasal dari pusat maupun berdasar di daerah sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, daearah mempunyai keleluasaan untuk menggali potensi daerah melalui prakarsa, memilih alternative dan bahkan menentukan prioritas dalam pengembangan dan pembangunan di daerah. Keberadaan pemerinta pusat adalah mempertegas aturan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang tidak dapat mengurangi esensi otonomi daerah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sedikitnya empat program induk (main program) sebagai keranga acuan pelaksanaan hukum dan otonomi daerah yakni, program untuk menciptakan sistem hukum nasional yang adil dan demokratis, program untuk membangun tata pemerintahan yang baik melalui tata kelola pemerintahan (good governance), kemampuan untuk meningkatkan kemampuan legislative dan kemampuan untuk menegakkan hukum tanpa diskriminasi[9].
Namun, doktrin negara kesatuan ternyata membawa konsekuensi berbeda di tangan rezim Orde Baru. Selama di bawah Orde Baru, doktrin bentuk negara kesatuan diterjemahkan menjadi pola sentralistik. Apa yang terjadi di masa Orde Baru adalah totalitarianism yang secara struktural oleh Hannah Arendt (1995) dianalisis dari beberapa faktor, pertama, terjadinya legitimasi dengan sangat mudah terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) atas nama tujuan ideologi dengan simbol demi pembangunan dan kesuksesan bangsa. Kedua, monopoli informasi dengan alasan bahwa kerajaan atau pemerintahan tahu lebih baik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibaca, ditonton, dan didiskusikan oleh rakyat. Ketiga, adanya pembatasan organisasi-organisasi rakyat pada organisasi-organisasi resmi dan ini bisa menimbulkan praktik korporatisme negara.[10] Yang dengan ini, pusat menjadi menguat sedangkan daerah melemah. Karenanya, pasca-Orde Baru tuntutan yang menguat terhadap model sentralisasi adalah desentralisasi. Sesungguhnya, desentralisasi bukan hanya fenomena locus Indonesia semata, tetapi juga merupakan tren pola pemerintahan di berbagai negara. Sangat banyak  negara yang mengalami penguatan permintaan desentralisasi. Paling tidak, pengalaman empat negara terbesar Amerika Latin (Brasil, Argentina, Kolombia, dan Chile) menunjukkan kuatnya reformasi model desentralisasi dengan berbagai variannya.
  
B.        Hubungan antara  Pusat dan Daerah
Gelombang reformasi tahun 1998 telah menuntun terjadinya eskalasi perubahan pada tataran peneyelenggaraan pemerintahan yakni, berubahnya pola pengelolaan atau peneyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya terjadi pada arah pemerintahan pusat saja melalui penerapan mekanisme “Check and balances”, akan tetapi juga pada arah pemerintahan daerah melalui penerapan otonomi daerah. Perubahan tersebut menyangkut cara pandang dan paradigma yang dipergunakan untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis melalui penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance and good government)[11].
Perubahan yang berlangsung secara dramatis tanpa disertai agenda yang jelas dan runtut memberikan ruang yang kosong pada pengisian format penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai dengan arah yang hendak dituju yakni, menuju pada tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis berasas pada tata kelola pemerintahan yang baik, bebas dari KKN, desentralisasi kekuasaan, dan penegkan hukum yang tidak diskrimantif. Dalam kenyataan meskipun hal itu dilakukan namun belum menunjukkan hasil yang signifikan, malahan menimbulkan efek samping seperti masih menguatnya sentiment kedaerahan, ketidakpuasan, masih merebaknya KKN, masih menguatnya sentralisasi kekuasaan dan penegakan hukum yang masih ambigu.
Selama pemerintahan reformasi berlangsung tampaknya arah penyelenggaraan pemerintahan mengalami demosi bukan hanya pada tataran kebijakan saja, akan tetapi juga pada tataran implementasi hubungan antara pusat dan daerah. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa kita sudah sepakat untuk melakukan perubahan tatanan penyelenggaraan pemerintahan untuk tingkat pusat dengan patokan perimbangan kekuasaan negara, dimana antara lembaga legislatif, eksekutif, dan judikatif tercipta hubungan yang saling mengawasi dan mengendalikan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Namun, dalam prakteknya tidaklah demikian. Meskipun menggunakan konsep pemisahan kekuasaan yang bertumpu kepada mekanisme “check and balances”, namun sangatlah sukar untuk melakukan perubahan secara mendasar pada tataran implementasi. Kemungkinan dari sudut pandang teori bisa dilakukan dengan mencoba menempatkan kedaulatan ada pada rakyat melalui konsep pemilihan langsung baik legislatif maupun eksekutif, sehingga kedua lembaga tersebut lebih aspiratif dan akuntabel.
Dengan menempatkan kedudukan kedua lembaga pada posisi yang seperti itu, tentu saja membutuhkan peran yang lebih penting dan didasarkan pada fungsi-fungsi yang harus diemban yakni, bukan hanya pada pemenuhan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran semata tetapi juga sinergitas kewenangan masing-masing lembaga negara. Idealisasi dari fungsi-fungsi tersebut adalah terciptanya proses penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, partisipatif, dan transparan jauh dari bias penyelenggaraan yang berbau kolutif, menguntungkan sekelompok orang dan bahkan  mengabaikan aspirasi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks yang lebih khusus terjadi ketidakserasian dalam penjabaran hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerimtahan daerah  baik provinsi maupun Kabupaten/Kota, sehingga diperlukan sinergitas hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan masing-masing lembaga sehingga dapat mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi masyarakat. Upaya untuk mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan kehendak dan aspirasi masyarakat dengan dibarengi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance and good government) dapat diwujudkan jikalau sinergitas hubungan kewenangan dapat dilakukan dengan baik melalui perimbangan kekuasaan secara memadai. Dalam arti, bahwa dengan kewenangan yang dimiliki masing-masing tingkat pemerintahan sehingga akan menciptakan akuntabilitas pada masing-masing ranah  tingkat pemerintahan dan memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan yang terbaik pada masyarakatnya. Untuk menghindari sikap mengedepankan masing-masing kewenangan yang dimiliki dan menafikan keserasian tatanan hubungan diantara mereka.
Hubungan yang harmonis antara masing-masing tingkat pemerintah atau antara pusat dan daerah akan mengarahkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan secara lebih baik. Selama ini mekanisme hubungan yang terbangun melalui pengaturan yang dilakukan masih menimbulkan adanya tumpang tindih kewenangan dan urusan pemerintahan yang harus diselenggarakan sehingga membawa akibat pada peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hubungan kewenangan dan sinergis antara pusat dan daerah akan memberi daya dorong pada masing-masing tingkatan pemerintahan untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan rakyat. Dengan kata lain, pelaksanaan kewenangan masing-masing ranah tingkatan pemerintahan akan sangat menentukan jalannya penyelenggaraan pemerintahan dengan baik dan benar. Tidak lagi tercipta dominasi kekuasaan yang tanpa kontrol seperti pada masa rezim sebelumnya. Akuntabilitas pemerintahan dapat terjaga sesuai dengan pola hubungan yang setara (sejajar), berimbang dan saling melengkapi.
Paradigma baru dalam berpemerintahan telah ditetapkan dalam aturan normatif baik dalam perubahan UUD 1945 maupun UU No. 32 tahun 2004 yang sekarang telah diperbaharui dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Kedudukan pemerintah dan pemerintah daerah sangatlah penting dalam mewujdkan mekanisme “check and balances” seperti fungsi pelayanan publik, pengawasan dan penegakan hukum. Masing-masing fungsi tersebut mempunyai implikasi dalam tataran penyelenggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Berkaitan dengan kedudukan pemerintah telah diatur bahwa pemerintah mempunyai kewenangan mutlak dan kewenangan yang bisa dibagi bersama antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Sedangkan, kedudukan pemerintahan daerah adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dserahkan oleh pemerintah kepada pemerintahan daerah atau urusan pemerintahan yang bersifat asli.
Pelaksaan atau penyelenggarakan wewenang masing-masing tingkatan pemerintahan seharusnya tidak menjadi hambatan atau kendala bagi pelakasnaan tugas dan fungsi pemerintah dan pemerintahan daerah. Namun, dalam prakteknya hal tersebut tidaklah mudah untuk diselenggarakan atau diimplementasikan sehingga dibutuhkan adanya penataan hubungan kewenangan masing-masing tingakatan pemerintahan dalam bentuk pengaturan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Dengan penataan hubungan kewenangan baik hubungan kewenangan secara kelembagaan (institutional) tidak lain dimaksudkan untuk mempertegas kedudukan masing-masing lemabaga (instansi) baik vertikal maupun daerah otonom dengan kewenangan pada masing-masing lembaga tentu saja diharapkan dapat bersinergi dengan kewengan lembaga atau instansi sehingga pelaksanaan pengambilan kebijakan publik khusunya dalam pebentukan peraturan perundanng-undangan baik melauli peraturan pemrintah , peraturan daerah, peraturan gubernur/bupati/walikota penyusunan APD, pelaksanaan kebijakan pemrintah dan atau pemerintah daerah dapat dilakukan secara baik dan memadai.
Penantaan hubungan kewenanggn secara kelembagaan (institusional) selama ini lebih banyak mengadalkan pada peran aktif masing-masing kelembagaan baik di tingkat pemerintah maupun pemrintahan daerah. Dalam arti, bahwa masing-masing lembaga atau instansi baik secara vertikal maupun daerah otonom dalam melaksanakn fungsi dan tugasnya dilakukan secara melembaga melalui mekanisme kosrdinasi dan supervisi berdasar pada kewenangan yang dimiliki. Masing-masing instansi baik vertikal maupun daerah otonom tidak hanya dapat bertumpu pada wewenang yang dimilikinya, akan tetapi juga harus dapat atau berbuat sesuai dengan beban tugas dan fungsi yang diemban dari segi pelaksanaan akan lebih mudah dilaksanakan dibandingkan kalau hanya dengan mengadalkan kewenangan mandiri.
Selain itu, penataan kewenanagan secara kelembagaan akan memberi ruang yang lebih bebas dalam melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing lembaga atau instansi. Dalam arti, akan terdapat kejelasan wewenang atau tugas dan fungsi masing-masing lembaga sehingga tidak saling tumpang tindih atau bahkan asling mengeliminasi fungsi dan tugas masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan adanya senrgitas kewenangan dalam arti bahwa yang dimiliki masing-masing lembaga atau instansi tidak lain untuk menciptakan sebuah tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Melalui sinergitas kewenangan masing-masing lembaga atau instansi baik vertikal maupun daerah otonom tentunya akan berimplikasi pada tatanan penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintahan di daerah. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga agar peneyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sesuai koridor hukum saja, akan tetapi dapat dilakukan secara lebih leluasa tanpa adanya ketakutan akan pelanggaran hukum sehingga dapat mengganggu kinerja pemerintah daerah. Proses penegakan hukum yang dilakukan baik oleh kepolisian maupun kejaksanaan dalam hal terjadi indikasi korupsi tidak perlu dijadikan sebagai momok atau ketakutan bagi pemerintah daerah sehingga kreatifitas dan inovasi menjadi hilang justru proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian maupun oleh kejaksanaan semata-mata untuk mengarahkan agar tatanan peneyelenggara pemerintahan sesuai dengan arah yang ingin dicapai yakni efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, tanpa meninggaalkan substansi yang ingin dicapai dalam penegakan hukum semestinya juga pihak kepolisian dan kejaksanaan tidak lantas mencari-cari kesalahan dan menjadikannya sebagai sarana pemerasan baru.
 Pemerintahan Daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi (desentralisasi) dan tugas pembantuan. Asas dekonsentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan prinsip otonomi sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, hubungan yang diidealkan antara pemerintah pusat dan ddengan daerah prvinsi, dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota adalah hubungan tidak bersifat hirerakis. Namun fungsi koordinasi dalam rangka pembinaan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerinta provinsi sebagaimana mestinya[12]. Sistematika hubungan antara Pusat dan Daerah tentunya menjadi hal penting lainnya yang harus diatur dalam konsep negara kesatuan. Satu hal keliru jika hanya menempatkan pola hubungan pusat dan daerah dalam kerangka pola hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan wewenang yang bersumber dari kedaulatan Negara tentunya bukan hanya berada para ranah kewenangan pemerintah. Hal ini berhubungan dengan pembagian keuangan, pemanfaatan sumber daya alam, dan berbagai hal lainnya yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya. Apalagi, pemanfaatan hal-hal tersebut membutuhkan peran serta yang bukan hanya oleh pemerintah namun juga membutuhkan peran rakyat melalui perwakilan daerah yang terepresentasi melalui legislatif daerah. Namun yang menjadi kendala adalah muatan materi yang terbatas karena  hal yang diatur dalam konstitusi adalah di ranah pemerintah saja, padahal hubungan antara pusat dan daerah bersifat kompleks dan menyangkut bidang-bidang yang lebih luas dari pemerintah. Disamping itu, kejelasan antara hubungan daerah dan pusat baik provinsi, kabupaten dan kota kesemuanya perlu untuk dijelaskan arah hubungannya sehingga mudah dalam memahami dan melaksanakan.
Ada dua pola hubungan yang mesti diatur, yaitu (1) pola hubungan antara pusat dan provinsi dan (2) pola hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, pusat hanya berhubungan dengan provinsi secara langsung, sedangkan dengan kabupaten/kota hubungannya tidak secara langsung, melainkan harus melalui provinsi. Dengan adanya pola hubungan yang bertingkat ini diharapkan terjadi efektivitas dalam berjalannya unit-unit pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, pola hubungan yang jelas dan memiliki arah tentunya akan memudahkan dalam pelaksanaannya.

C.       Lembaga Eksekutif Daerah
Pemerintahan Daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi (desentralisasi) dan tugas pembantuan Bab VII Pasal 26 ayat (2). Asas dekonsentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan prinsip otonomi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Di daerah ditentukan adanya lemabaga eksekutif pemerintah dan lembaga legislatif yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Di daerah provinsi, pihak pemerintah dipimpin oleh Gubernur yang mempunyai kedudukan sebagai Kepala Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah yang mewakili Pemerintah Pusat. Adapun di daerah kabupaten, pihak pemerintah dipimpin oleh Walikota yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah Otonom[13]. Kedudukan antar Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-masing mempunyai kedudukan sederajat, hal ini juga jelas termaktub pada UU No. 22 Tahun 1999 yang tidak menggunakan istilah Daerah Tingkat I dan daerah Tingkat II. UU No. 22 Tahun 1999 juga menegaskan mengenai prinsip ketidakberlakuan hireraki daerah yaitu adanya kedudukan daerah yang lebih tinggi disbanding daerah lain. Namun demikian, fungsi koordinasi dalam rangka pembinaan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagaimana mestinya.
Prinsip demokrasi yang berakar pada rakyat di daerah menjadikan model pemerintahan daerah pun harus direformulasi ulang. Meskipun secara teoretik pemerintahan daerah pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, tidak berarti dapat mengartikan pemerintahan daerah merupakan perpaduan unsur antara pemeritah daerah (eksekutif lokal) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif lokal). Selayaknya, pemerintah daerah tetap ditetapkan dalam rumpun eksekutif, dengan menjadi rentang kendali pemerintah pusat. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi lembaga legislatif daerah yang tidak punya hubungan pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus diberikan posisinya sebagai pelaksana fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang diperanka di daerah. Fungsi legislasinya adalah pemegang fungsi utama penyusunan peraturan daerah, fungsi anggarannya dalam menyusun anggaran daerah, dan pengawasannya adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah. Ketiga fungsi ideal lembaga representasi ini akan sulit berjalan ketika ia diposisikan sebagai unsur pemerintahan daerah yang punya pola hubungan pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat.
Daerah Kabupaten dan Kota dipimpin oleh seorang Kepala Daerah Bupati dan Walikota yang berdasarkan asas desentralisasi merupakan Kepala Eksekutif yang dibantu oleh masing-masing seorang Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah provinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya juga merupakan Wakil Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekosentrasi dan tugas pembantuan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menurut asas dekosentrasi, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Akan tetapi, dalam hal kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada Presiden Republik Indonesia[14]. Mekanisme pertanggungjawaban Bupati dan Walikota berbeda dengan Gubernur karena kedudukannya yang sepenuhnya sebagai Kepala daerah dalam rangka asas desentralisasi. Karena itu, Bupati dan Walikota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota, dan tidak bertanggung jawab kepada Gubernur karena Bupati dan Walikota bukanlah wakil dari pemerintah provinsi.
Kepala Daerah Kabupaten dan Kota beserta wakilnya masing-masing dipilih secara bersamaan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat berdasarkan asas pemilihan umum. Gubernur sebagai kepala daerah Provinsi yang merupakan wakil dari pemerintah pusat dalam rangka asas dekosentrasi dan tugas pembantuan dipilih secara demokratis, sesuai dengan semangat demokrasi yang hidup di masing-masing daerah provinsi. Pemberdaan mekanisme pemilihan dari masing-masing kepala daerah dimaksudkan untuk kepentingan proporsional mengingat tugas, fungsi, dan wewenang dari kepala daerah yang berbeda antara Gubernur dengan Bupati dan Walikota. Pemilihan secara demokratis bagi Gubernur juga dapat menjadi solusi konstitusional bagi daerah khusus dan istimewa yang diakui oleh negara, mengingat proses dan mekanisme pemilihan dari daerah tersebut yang berbeda dengan daerah otonom lainnya. Selain itu konstitusi Indonesia pasca amandemen ke-empat juga mengatur mengenai mekanisme pemilihan Kepala daerah secara demokratis, pemaknaan demokratis (secara langsung atau perwakilan) yang ambigu merupakan permasalahan tersndiri bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia untuk itu Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah yang jelas dan mampu mengakomodasi kebutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diatur dengan undang-undang.

D.      Lembaga Legislatif dan Proses Legislasi Daerah
Daerah Provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dewan Perwakilan Rakyat daerah mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta hak protokoler dan hak keuangan anggota Dewan Perwakilan rakyat daerah diatur dalam Undang-undang. Sedangkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu menetapkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah. Pemerintah Daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk melaksanakan tugas pembantuan bagi pemerintah provinsi dan otonomi daerah bagi pemerintah kabupaten dan kota. Gubernur, Bupati dan Walikota mengajukan rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dikonsultasikan dan dibahas oleh Pemerintah Pusat. Untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten atau kota dikonsultasikan kepada Gubernur.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah provinsi maupun di daerah kabupaten dan kota pada umumnya menjalankan kekuasaan legislatif sehingga dikenal sebagai lembaga legistlatif. Namun, sebenarnya fungsi legislative di daerah tidak sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam hubungannya dengan Presiden. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) Dewan Perwakilan Rakya ditentukan memegang kekusaan membentuk Undang-Undang, juncto Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hasil perubahan pertama. Adapun kewenangan menetapkan Peraturan Daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten dan kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat daerah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap memegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pengintrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah[15].
Pembentukan daerah otonomi yang baik tentu harus berdasar pada prinsip pelaksanaan Pemerintahan yang baik (good governance), perimbangan fungsi dan kewenangan lembaga pemerintahan daerah harus bersifat proporsional. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hanya bersifat sebagai lembaga pengontrol perlu untuk diberi fungsi legislatif yang adil sehingga terwujud sistem (checks and balances) di tataran pemerintahan daerah. Fungsi mengusulkan rancangan dan/atau membentuk peraturan daerah, fungsi pengawasan, serta fungsi lainnya yang berkenaan dengan wewenang legislatif penting untuk diterapkan atau dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain fungsi, tugas, dan wewenang yang proporsional, mekanisme pembentukan peraturan daerah juga perlu diperbaiki mengingat sealama ini proses penyusunan peraturan daerah/legislasi di daerah masih terbengkalai dan tidak dilaksanakan secara professional.   
Implikiasi langsung pada pola penyusunan peraturan daerah/legislasi di daerah yang tidak cermat pada akhirnya akan menimbulkan sistem pelaksanaan tata pemerintahan dan kebijakan yang tidak mencerminkan cita masyarakat daerah. Penyusunan pola legislasi daerah haruslah mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Pada prinsipnya, harus mampu mendamaikan kepentingan pusat melalui pemerintah pusat dengan kepentingan daerah yang terepresentasi melalui lembaga legislasi daerah. Pada pelaksanaannya, harus dapat menghindari kemungkinan deadlock ketika proses legislasi. Dalam hal legislasi daerah, usul perubahan ini mencontoh pola legislasi di pusat dengan model legislasi presidensial di mana eksekutif tidak ikut membahas rancangan peraturan daerah, tetapi dapat mengajukan raperda. Namun, eksekutif daerah tidak diberikan hak veto mengingat kontrol atas perda dapat dilakukan oleh pengadilan (MK) bila bertentangan dengan peraturan di atasnya.




[1] Aminuddin Ilmar, Membangun Negara Hukum Indonesia, Makassar;Phinatama media, 2014, hlm. 73.
[2] Aminuddin Ilmar, Op.Cit.,hlm. 32.
[3] Hans Kelsen, Op.Cit, hlm  445.
[4] Tulia G. Faletti memberikan catatan komparatif atas beberapa literature politik yang berbicara tentang
   desentralisasi sebagai sebuah proses. Ia menuliskan, “the political science literature has advanced definitions of decentralization as a process. However, they tend to be too narrow—including only one (Agrawal 2001, 3; Rondinelli and Nellis 1986, 5) or at most two dimensions of the process (Garman etal. 2001, 206; O’Neill 1999, 27–29; Treisman 2000, 837)—or too encompassing—including the  devolution of authority to non–state actors (Cheema and Rondinelli 1983, 24–25; von Haldenwang 1991, 60–62)”. Lihat: Tulia G. Faletti, “A Sequential Theory of Decentralization and Its Effect on the  Intergovermental Balance of Power: Latin American Cases in Comparative Perspectives”, Working Paper, # 314, July 2004

[5] Joebiarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Jakarta: Bina Aksara, 1992.
[6] Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 5.
[7] Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 29.
[8] Rondinelli dan Cheema, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. 1983.

[9] Aminuddin Ilmar, Op.Cit., hlm. 77-78.
[10] Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliarianisme, Yayasan Obor Indonesia, 1995.
[11] Aminuddin Ilmar, Op.Cit, hlm. 45.
[12] Jimly Asshiddiqie (ed), Op.Cit., hlm. 220.
[13] Jimly Asshiddiqie (ed), Ibid., hlm. 238.
[14] Jimly Asshiddiqie (ed), Ibid., hlm. 239.
[15] Jimly Asshiddiqie (ed), Ibid, hlm. 241.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kita dalam Kata

BTemplates.com

Powered by Blogger.

Berita Harian

Pages - Menu

Popular Posts

Popular Posts