A.
Otonomi Daerah
Perubahan yang menjadi dasar tuntutan masyarakat
tentunya akan mendorong terjadinya eskalasi perubahan pada tataran
penyelenggaraan hukum dan pemerintahan, yakni berubahnya pola pengelolaan atau
penyelenggaraan hukum dan pemerintahan yang tidak hanya terjadi pada arah
pemerintahan pusat saja melalui penerapan mekanisme “check and balances”, akan tetapi juga pada arah pemerintah daerah
melalui otonomi daerah. Perubahan tersebut menyangkut cara pandang dan paradigma
yang dipergunakan untuk mendorong pembentukan hukum yang adil dan
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis melalui penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance
and good government)[1].
Konsep wilayah kesatuan yang kemudian dijadikan
bentuk negara oleh Indonesia secara logis berimplikasi terhadap bentuk
pemerintahan dalah hal ini bentuk pemerintahan Indonesia ialah Republik.
Sebagai negara kesatuan tata penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan
melimpahkan wewenang kepada tiap daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing,
pergesaran sistem pemerintahan yang sentralistis menuju desentralistis
merupakan kebijakan yang dianggap mampu mengakomodir keberagaman suku bangsa
yang tersebar di daerah-daerah yang berada di wilayah kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia demi tercapainya pemerintahan yang efisien.
Pada dasarnya, konsep otonomi daerah dan pola
pemerintahan di daerah mengikuti perkembangan teori negara dan pola
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam konteks bentuk negara, terdapat pola
negara kesatuan dan negara federasi. Dalam model negara
federal, pengalaman Amerika Serikat menunjukkan pola kenegaraan yang diinisiasi oleh daerah-daerah atau
negara bagian untuk kemudian membentuk negara. Sehingga,
secara asal, kekuasaan itu berasal dari daerah yang kemudian diserahkan kepada negara federal. Sedangkan, konsep
negara kesatuan memperlihatkan pola negara kesatuan yang kemudian
membentuk dan membagi wilayah dan kewenangannya kepada daerah-daerah.
Karenanya, konteks negara kesatuan membuat pola kekuasaan Negara berada pada pusat lalu kemudian akan
dibagi ke daerah. Secara substansi otonomi daerah dapat diartikan sebagai
kemandirian daerah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan dan
pembangunan di daerah. Istilah otonomi yang kita kembangkan tidak hanya
mengarah kepada “political aspect”
semata, tetapi juga memperhatikan “economic
aspect” sebagai basis atau landasan mengurus rumah tangganya sendiri.[2]
Hans Kelsen berpendapat bahwa yang disebut otonomi
daerah adalah suatu perpaduan secara langsung dari ide-ide desentralisasi
dengan ide-ide demokrasi. Organ-organ pembuat norma-norma daerah dipilih oleh
subyek dari norma-norma ini. Sebuah contoh dari satuan daerah otonom adalah
kotapraja atau kotamadya atau walikota. Ini adalah sebuah pemerintahan daerah
yang otonom dan desentralistis. Desentralisasi menunjuk hanya kepada masalah-masalah
tertentu menyangkut kepentingan khusus daerah, dan ruang lingkup wewenang
kotapraja atau kotamadya dibatasi kepada tingkatan norma-norma khusus. Tetapi kadang-kadang
lembaga administratif terpilih, yakni dewan kotapraja/kotamadya, berkompeten
untuk membuat norma-norma umum, yang disebut undang-undang otonom; tetapi
undang-undang ini harus ada dalam kerangka undang-undang pusat, yang dibuat
oleh organ legislatif negara.[3]
Tentunya tidak mudah menentukan pengertian
desentralisasi. Konsepnya sangat dipengaruhi
konsep keilmuan yang mendasari konteks tersebut. Namun, secara simpel, desentralisasi dapat diterjemahkan
sebagai sebuah proses, it is a set of policy reforms aimed at transferring
responsibilities, resources, or authority from higher to lower levels of government[4]. Dalam konteks pemerintahan di Indonesia,
diartikan sebagai pelimpahan
urusan pemerintah pusat ke daerah dengan menggunakan beberapa asas.
Asas desentralisasi menurut beberapa pakar berbeda
redaksionalnya, tetapi pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Menurut
Joeniarto[5],
desentralisasi adalah memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada
pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan
rumah tangganya sendiri. Amrah Muslimin[6],
mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang pada badan-badan dan
golongan-golongan dalam masyarakat daerah tertentu untuk mengurus rumah
tangganya sendiri. Irawan Soejito[7],
mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak
lain untuk dilakasanakan.
Secara teoretis, ada beberapa model desentralisasi,
yakni pertama, dekonsentrasi, yakni distribusi
wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan; kedua, delegasi, yakni apa yang diartikan sebagai pendelegasian
otoritas manajemen dan pengambilan keputusan
atas fungsi-fungsi tertentu yang diberikan kepada organiasasi-organisasi yang secara
langsung tidak di bawah kontrol pemerintah; ketiga, devolusi, yakni menyerahkan fungsi dan otoritas dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah; keempat, privatisasi, yakni menyerahkan beberapa otoritas
dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi
tertentu kepada organisasi swasta (Rondinelli dan Cheema, 1983).[8] Artinya, keempat model tersebut
telah memayungi pengertian pelaksanaan desentralisasi dalam bentuk otonomi dan tugas
pembantuan tersebut. Hanya saja, perlu untuk dipertahankan
adanya kalimat “otonomi” yang merupakan gairah utama dari penguatan daerah yang ada selama ini. Sedangkan
kata desentralisasi merupakan payung dari berbagai
varian yang mungkin dari upaya mengurangi model sentralisasi. Selain itu
penerapan daerah khusus dan daerah istimewa yang kemudian diterapkan otonomi
khusus merupakan bentuk keberagaman suku yang sudah seharusnya ketersediaan
sarana bagi daerah tersebut untuk melaksanakan nilai-nilai pneyelenggaraan yang
masih hidup dan dijaga.
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa pada prinsipnya,
kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan yang
selama ini tersentralisasi di wilayah pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi, kekuasaan
pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah
sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuaaan dari pusat ke
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan
bahwa sejak diterpkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan
akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini
dinilai sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional
dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku
sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan
struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk
menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul diberbagai daerah
seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya
akan sangan membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini
dinalai mutlak harus diterapkan dalam waktu secepat-cepatnya sesuai dengan
Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu
menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi
daerah otonomi itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang
diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan
mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.
Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah
tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu
diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari
atas ke bawah, tetapi juga perlu diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah
untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai
faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat kita yang paternaslistik, kebiajakan desentralisasi dan otonomi
daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk
membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Pelaksanaan tata pemerintahan daerah haruslah
dipahami melalui keseimbangan wewenang antara pemerintah daerah dalam hal ini
Gubernur di tingakat provinsi, dan Bupati dan Walikota berada di tingkap
kabupaten dan kota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tiap tingkatan
daerak masing-masing. Prinsip “Cheks and
balances” merupakan unsur yang esnsial karena pola yang seimbang antara
keduanya tentunya akan berdampak pada pelaksanaan otonomi daerah yang baik.
Namun dalam konteks kontemporer, ternyata permasalahan seputar ketidak jelasan
tata cara penyelenggaraan pemerintah di berbagai daearah masih terjadi, salah
satu bentuk ketimpangannya adalah pemilihan kepala daerah yang banyak menuai
kontroversi. Hak dan wewenang serta perbaikan hubungan pemerintah pusat dan
daerah juga masih diwarnai oleh permasalahan. Perbaikan sebagaimana yang
dimaksud adalah hal yang urgen bagi peneyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah
di Indonesia.
Menurut Aminuddin Ilmar inti dari pelaksanaan
otonomi adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah untuk selalu
menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran
serta secara aktif oleh masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya. Kewenangan daerah dapat diartikan sebagai keleluasaan untuk
menggunakan dana, baik yang berasal dari pusat maupun berdasar di daerah
sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, daearah mempunyai
keleluasaan untuk menggali potensi daerah melalui prakarsa, memilih alternative
dan bahkan menentukan prioritas dalam pengembangan dan pembangunan di daerah.
Keberadaan pemerinta pusat adalah mempertegas aturan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan yang tidak dapat mengurangi esensi otonomi daerah tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan sedikitnya empat program induk (main program)
sebagai keranga acuan pelaksanaan hukum dan otonomi daerah yakni, program untuk
menciptakan sistem hukum nasional yang adil dan demokratis, program untuk
membangun tata pemerintahan yang baik melalui tata kelola pemerintahan (good
governance), kemampuan untuk meningkatkan kemampuan legislative dan kemampuan
untuk menegakkan hukum tanpa diskriminasi[9].
Namun, doktrin negara kesatuan ternyata membawa
konsekuensi berbeda di tangan rezim Orde
Baru. Selama di bawah Orde Baru, doktrin bentuk negara kesatuan diterjemahkan menjadi pola sentralistik. Apa yang
terjadi di masa Orde Baru adalah totalitarianism yang
secara struktural oleh Hannah Arendt (1995) dianalisis dari beberapa faktor, pertama,
terjadinya legitimasi dengan sangat mudah terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) atas nama tujuan ideologi
dengan simbol demi pembangunan dan kesuksesan
bangsa. Kedua, monopoli informasi dengan alasan bahwa kerajaan atau pemerintahan tahu lebih baik apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dibaca, ditonton, dan
didiskusikan oleh rakyat. Ketiga, adanya pembatasan
organisasi-organisasi rakyat pada
organisasi-organisasi resmi dan ini bisa menimbulkan praktik korporatisme negara.[10] Yang dengan ini, pusat menjadi menguat
sedangkan daerah melemah. Karenanya,
pasca-Orde Baru tuntutan yang menguat terhadap model sentralisasi adalah desentralisasi. Sesungguhnya,
desentralisasi bukan hanya fenomena locus Indonesia semata, tetapi juga merupakan tren pola
pemerintahan di berbagai negara. Sangat banyak negara yang mengalami
penguatan permintaan desentralisasi. Paling tidak, pengalaman empat negara terbesar Amerika Latin
(Brasil, Argentina, Kolombia, dan Chile) menunjukkan
kuatnya reformasi model desentralisasi dengan berbagai variannya.
B.
Hubungan antara Pusat dan Daerah
Gelombang reformasi tahun 1998 telah menuntun
terjadinya eskalasi perubahan pada tataran peneyelenggaraan pemerintahan yakni,
berubahnya pola pengelolaan atau peneyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya
terjadi pada arah pemerintahan pusat saja melalui penerapan mekanisme “Check and balances”, akan tetapi juga
pada arah pemerintahan daerah melalui penerapan otonomi daerah. Perubahan
tersebut menyangkut cara pandang dan paradigma yang dipergunakan untuk
mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis melalui penerapan tata
kelola pemerintahan yang baik (good
governance and good government)[11].
Perubahan yang berlangsung secara dramatis tanpa
disertai agenda yang jelas dan runtut memberikan ruang yang kosong pada pengisian
format penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sesuai dengan arah yang hendak
dituju yakni, menuju pada tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis
berasas pada tata kelola pemerintahan yang baik, bebas dari KKN, desentralisasi
kekuasaan, dan penegkan hukum yang tidak diskrimantif. Dalam kenyataan meskipun
hal itu dilakukan namun belum menunjukkan hasil yang signifikan, malahan
menimbulkan efek samping seperti masih menguatnya sentiment kedaerahan,
ketidakpuasan, masih merebaknya KKN, masih menguatnya sentralisasi kekuasaan
dan penegakan hukum yang masih ambigu.
Selama pemerintahan reformasi berlangsung tampaknya
arah penyelenggaraan pemerintahan mengalami demosi bukan hanya pada tataran
kebijakan saja, akan tetapi juga pada tataran implementasi hubungan antara
pusat dan daerah. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa kita sudah sepakat
untuk melakukan perubahan tatanan penyelenggaraan pemerintahan untuk tingkat
pusat dengan patokan perimbangan kekuasaan negara, dimana antara lembaga
legislatif, eksekutif, dan judikatif tercipta hubungan yang saling mengawasi dan
mengendalikan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Namun, dalam
prakteknya tidaklah demikian. Meskipun menggunakan konsep pemisahan kekuasaan
yang bertumpu kepada mekanisme “check and balances”, namun sangatlah sukar
untuk melakukan perubahan secara mendasar pada tataran implementasi.
Kemungkinan dari sudut pandang teori bisa dilakukan dengan mencoba menempatkan
kedaulatan ada pada rakyat melalui konsep pemilihan langsung baik legislatif
maupun eksekutif, sehingga kedua lembaga tersebut lebih aspiratif dan
akuntabel.
Dengan menempatkan kedudukan kedua lembaga pada
posisi yang seperti itu, tentu saja membutuhkan peran yang lebih penting dan
didasarkan pada fungsi-fungsi yang harus diemban yakni, bukan hanya pada
pemenuhan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran semata
tetapi juga sinergitas kewenangan masing-masing lembaga negara. Idealisasi dari
fungsi-fungsi tersebut adalah terciptanya proses penyelenggaraan pemerintahan
yang akuntabel, partisipatif, dan transparan jauh dari bias penyelenggaraan
yang berbau kolutif, menguntungkan sekelompok orang dan bahkan mengabaikan aspirasi masyarakat secara
keseluruhan.
Dalam konteks yang lebih khusus terjadi
ketidakserasian dalam penjabaran hubungan kewenangan antara pemerintah pusat
dengan pemerimtahan daerah baik provinsi
maupun Kabupaten/Kota, sehingga diperlukan sinergitas hubungan kewenangan antar
tingkat pemerintahan masing-masing lembaga sehingga dapat mengarahkan penyelenggaraan
pemerintahan yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi masyarakat. Upaya untuk
mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan kehendak dan
aspirasi masyarakat dengan dibarengi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance and good government)
dapat diwujudkan jikalau sinergitas hubungan kewenangan dapat dilakukan dengan
baik melalui perimbangan kekuasaan secara memadai. Dalam arti, bahwa dengan
kewenangan yang dimiliki masing-masing tingkat pemerintahan sehingga akan
menciptakan akuntabilitas pada masing-masing ranah tingkat pemerintahan dan memberi legitimasi
pada pemerintah untuk melakukan yang terbaik pada masyarakatnya. Untuk
menghindari sikap mengedepankan masing-masing kewenangan yang dimiliki dan
menafikan keserasian tatanan hubungan diantara mereka.
Hubungan yang harmonis antara masing-masing tingkat
pemerintah atau antara pusat dan daerah akan mengarahkan tatanan
penyelenggaraan pemerintahan secara lebih baik. Selama ini mekanisme hubungan
yang terbangun melalui pengaturan yang dilakukan masih menimbulkan adanya
tumpang tindih kewenangan dan urusan pemerintahan yang harus diselenggarakan
sehingga membawa akibat pada peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada
masyarakat. Hubungan kewenangan dan sinergis antara pusat dan daerah akan
memberi daya dorong pada masing-masing tingkatan pemerintahan untuk melakukan
yang terbaik bagi kepentingan rakyat. Dengan kata lain, pelaksanaan kewenangan
masing-masing ranah tingkatan pemerintahan akan sangat menentukan jalannya
penyelenggaraan pemerintahan dengan baik dan benar. Tidak lagi tercipta
dominasi kekuasaan yang tanpa kontrol seperti pada masa rezim sebelumnya.
Akuntabilitas pemerintahan dapat terjaga sesuai dengan pola hubungan yang
setara (sejajar), berimbang dan saling melengkapi.
Paradigma baru dalam berpemerintahan telah
ditetapkan dalam aturan normatif baik dalam perubahan UUD 1945 maupun UU No. 32
tahun 2004 yang sekarang telah diperbaharui dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah. Kedudukan pemerintah dan pemerintah daerah sangatlah
penting dalam mewujdkan mekanisme “check
and balances” seperti fungsi pelayanan publik, pengawasan dan penegakan
hukum. Masing-masing fungsi tersebut mempunyai implikasi dalam tataran
penyelenggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Berkaitan dengan kedudukan
pemerintah telah diatur bahwa pemerintah mempunyai kewenangan mutlak dan
kewenangan yang bisa dibagi bersama antara pemerintah dan pemerintahan daerah.
Sedangkan, kedudukan pemerintahan daerah adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang dserahkan oleh pemerintah kepada pemerintahan daerah atau urusan
pemerintahan yang bersifat asli.
Pelaksaan atau penyelenggarakan wewenang
masing-masing tingkatan pemerintahan seharusnya tidak menjadi hambatan atau
kendala bagi pelakasnaan tugas dan fungsi pemerintah dan pemerintahan daerah.
Namun, dalam prakteknya hal tersebut tidaklah mudah untuk diselenggarakan atau
diimplementasikan sehingga dibutuhkan adanya penataan hubungan kewenangan
masing-masing tingakatan pemerintahan dalam bentuk pengaturan hubungan
kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Dengan penataan hubungan
kewenangan baik hubungan kewenangan secara kelembagaan (institutional) tidak
lain dimaksudkan untuk mempertegas kedudukan masing-masing lemabaga (instansi)
baik vertikal maupun daerah otonom dengan kewenangan pada masing-masing lembaga
tentu saja diharapkan dapat bersinergi dengan kewengan lembaga atau instansi
sehingga pelaksanaan pengambilan kebijakan publik khusunya dalam pebentukan
peraturan perundanng-undangan baik melauli peraturan pemrintah , peraturan
daerah, peraturan gubernur/bupati/walikota penyusunan APD, pelaksanaan
kebijakan pemrintah dan atau pemerintah daerah dapat dilakukan secara baik dan
memadai.
Penantaan hubungan kewenanggn secara kelembagaan
(institusional) selama ini lebih banyak mengadalkan pada peran aktif
masing-masing kelembagaan baik di tingkat pemerintah maupun pemrintahan daerah.
Dalam arti, bahwa masing-masing lembaga atau instansi baik secara vertikal
maupun daerah otonom dalam melaksanakn fungsi dan tugasnya dilakukan secara
melembaga melalui mekanisme kosrdinasi dan supervisi berdasar pada kewenangan
yang dimiliki. Masing-masing instansi baik vertikal maupun daerah otonom tidak
hanya dapat bertumpu pada wewenang yang dimilikinya, akan tetapi juga harus
dapat atau berbuat sesuai dengan beban tugas dan fungsi yang diemban dari segi
pelaksanaan akan lebih mudah dilaksanakan dibandingkan kalau hanya dengan
mengadalkan kewenangan mandiri.
Selain itu, penataan kewenanagan secara kelembagaan
akan memberi ruang yang lebih bebas dalam melaksanakan fungsi dan tugas
masing-masing lembaga atau instansi. Dalam arti, akan terdapat kejelasan
wewenang atau tugas dan fungsi masing-masing lembaga sehingga tidak saling
tumpang tindih atau bahkan asling mengeliminasi fungsi dan tugas masing-masing.
Oleh karena itu, diperlukan adanya senrgitas kewenangan dalam arti bahwa yang
dimiliki masing-masing lembaga atau instansi tidak lain untuk menciptakan
sebuah tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Melalui sinergitas kewenangan masing-masing lembaga
atau instansi baik vertikal maupun daerah otonom tentunya akan berimplikasi
pada tatanan penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintahan di daerah.
Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya dimaksudkan untuk
menjaga agar peneyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sesuai koridor
hukum saja, akan tetapi dapat dilakukan secara lebih leluasa tanpa adanya
ketakutan akan pelanggaran hukum sehingga dapat mengganggu kinerja pemerintah daerah.
Proses penegakan hukum yang dilakukan baik oleh kepolisian maupun kejaksanaan
dalam hal terjadi indikasi korupsi tidak perlu dijadikan sebagai momok atau
ketakutan bagi pemerintah daerah sehingga kreatifitas dan inovasi menjadi
hilang justru proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian maupun oleh
kejaksanaan semata-mata untuk mengarahkan agar tatanan peneyelenggara
pemerintahan sesuai dengan arah yang ingin dicapai yakni efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, tanpa meninggaalkan
substansi yang ingin dicapai dalam penegakan hukum semestinya juga pihak
kepolisian dan kejaksanaan tidak lantas mencari-cari kesalahan dan
menjadikannya sebagai sarana pemerasan baru.
Pemerintahan
Daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi (desentralisasi) dan tugas
pembantuan. Asas dekonsentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah provinsi dan
kabupaten/kota yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan prinsip
otonomi sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu,
hubungan yang diidealkan antara pemerintah pusat dan ddengan daerah prvinsi,
dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota
adalah hubungan tidak bersifat hirerakis. Namun fungsi koordinasi dalam rangka
pembinaan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerinta provinsi sebagaimana mestinya[12].
Sistematika hubungan antara Pusat dan Daerah tentunya menjadi hal penting
lainnya yang harus diatur
dalam konsep negara kesatuan. Satu hal keliru jika hanya menempatkan pola hubungan pusat dan daerah dalam
kerangka pola hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan wewenang yang
bersumber dari kedaulatan Negara tentunya
bukan hanya berada para ranah kewenangan pemerintah. Hal ini berhubungan dengan
pembagian keuangan, pemanfaatan sumber daya alam, dan berbagai hal lainnya yang seharusnya dikembalikan kepada
rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya. Apalagi, pemanfaatan hal-hal
tersebut membutuhkan peran serta yang bukan hanya oleh pemerintah namun juga membutuhkan
peran rakyat melalui perwakilan daerah yang terepresentasi melalui legislatif daerah. Namun
yang menjadi kendala adalah muatan materi yang terbatas karena hal yang diatur dalam konstitusi adalah di
ranah pemerintah saja, padahal hubungan antara pusat dan daerah bersifat
kompleks dan menyangkut bidang-bidang yang lebih luas dari pemerintah.
Disamping itu, kejelasan antara hubungan daerah dan pusat baik provinsi,
kabupaten dan kota kesemuanya perlu untuk dijelaskan arah hubungannya sehingga
mudah dalam memahami dan melaksanakan.
Ada dua pola hubungan yang mesti diatur, yaitu (1)
pola hubungan antara pusat dan
provinsi dan (2) pola hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, pusat hanya berhubungan
dengan provinsi secara langsung, sedangkan dengan kabupaten/kota hubungannya tidak
secara langsung, melainkan harus melalui provinsi. Dengan adanya pola hubungan yang
bertingkat ini diharapkan terjadi efektivitas dalam berjalannya unit-unit pemerintahan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, pola hubungan yang jelas dan memiliki
arah tentunya akan memudahkan dalam pelaksanaannya.
C.
Lembaga Eksekutif Daerah
Pemerintahan Daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi
(desentralisasi) dan tugas pembantuan
Bab VII Pasal 26 ayat (2). Asas dekonsentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah
provinsi dan kabupaten/kota yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan
prinsip otonomi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Di daerah ditentukan
adanya lemabaga eksekutif pemerintah dan lembaga legislatif yang sederajat dan
saling mengontrol satu sama lain. Di daerah provinsi, pihak pemerintah dipimpin
oleh Gubernur yang mempunyai kedudukan sebagai Kepala Daerah dan sekaligus
Kepala Wilayah yang mewakili Pemerintah Pusat. Adapun di daerah kabupaten,
pihak pemerintah dipimpin oleh Walikota yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah
Otonom[13].
Kedudukan antar Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
masing-masing mempunyai kedudukan sederajat, hal ini juga jelas termaktub pada
UU No. 22 Tahun 1999 yang tidak menggunakan istilah Daerah Tingkat I dan daerah
Tingkat II. UU No. 22 Tahun 1999 juga menegaskan mengenai prinsip
ketidakberlakuan hireraki daerah yaitu adanya kedudukan daerah yang lebih
tinggi disbanding daerah lain. Namun demikian, fungsi koordinasi dalam rangka
pembinaan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagaimana mestinya.
Prinsip demokrasi yang berakar pada rakyat di daerah
menjadikan model pemerintahan daerah
pun harus direformulasi ulang. Meskipun secara teoretik pemerintahan daerah pada hakikatnya adalah perpanjangan
tangan dari pemerintah pusat, tidak berarti dapat mengartikan pemerintahan daerah
merupakan perpaduan unsur antara pemeritah daerah (eksekutif lokal) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (legislatif lokal). Selayaknya, pemerintah daerah tetap ditetapkan dalam rumpun eksekutif,
dengan menjadi rentang kendali pemerintah pusat. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menjadi lembaga legislatif daerah yang tidak punya hubungan pertanggungjawaban dengan
pemerintah pusat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus diberikan posisinya
sebagai pelaksana
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang diperanka di daerah. Fungsi legislasinya adalah pemegang fungsi
utama penyusunan peraturan daerah, fungsi anggarannya
dalam menyusun anggaran daerah, dan pengawasannya adalah pengawasan terhadap
pemerintah daerah. Ketiga fungsi ideal lembaga representasi ini akan sulit berjalan ketika ia diposisikan
sebagai unsur pemerintahan daerah yang punya pola hubungan pertanggungjawaban dengan
pemerintah pusat.
Daerah Kabupaten dan Kota dipimpin oleh seorang
Kepala Daerah Bupati dan Walikota yang berdasarkan asas desentralisasi
merupakan Kepala Eksekutif yang dibantu oleh masing-masing seorang Wakil Kepala
Daerah. Kepala Daerah provinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya juga
merupakan Wakil Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekosentrasi dan
tugas pembantuan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menurut asas
dekosentrasi, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi. Akan tetapi, dalam hal kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat,
Gubernur mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas dan kewenangannya
kepada Presiden Republik Indonesia[14].
Mekanisme pertanggungjawaban Bupati dan Walikota berbeda dengan Gubernur karena
kedudukannya yang sepenuhnya sebagai Kepala daerah dalam rangka asas
desentralisasi. Karena itu, Bupati dan Walikota berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota, dan tidak
bertanggung jawab kepada Gubernur karena Bupati dan Walikota bukanlah wakil
dari pemerintah provinsi.
Kepala Daerah Kabupaten dan Kota beserta wakilnya
masing-masing dipilih secara bersamaan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat
berdasarkan asas pemilihan umum. Gubernur sebagai kepala daerah Provinsi yang
merupakan wakil dari pemerintah pusat dalam rangka asas dekosentrasi dan tugas
pembantuan dipilih secara demokratis, sesuai dengan semangat demokrasi yang
hidup di masing-masing daerah provinsi. Pemberdaan mekanisme pemilihan dari
masing-masing kepala daerah dimaksudkan untuk kepentingan proporsional
mengingat tugas, fungsi, dan wewenang dari kepala daerah yang berbeda antara
Gubernur dengan Bupati dan Walikota. Pemilihan secara demokratis bagi Gubernur
juga dapat menjadi solusi konstitusional bagi daerah khusus dan istimewa yang
diakui oleh negara, mengingat proses dan mekanisme pemilihan dari daerah
tersebut yang berbeda dengan daerah otonom lainnya. Selain itu konstitusi Indonesia
pasca amandemen ke-empat juga mengatur mengenai mekanisme pemilihan Kepala
daerah secara demokratis, pemaknaan demokratis (secara langsung atau
perwakilan) yang ambigu merupakan permasalahan tersndiri bagi pelaksanaan
ketatanegaraan di Indonesia untuk itu Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah yang
jelas dan mampu mengakomodasi kebutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu
diatur dengan undang-undang.
D.
Lembaga Legislatif dan Proses
Legislasi Daerah
Daerah Provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum. Dewan Perwakilan Rakyat daerah mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta hak
protokoler dan hak keuangan anggota Dewan Perwakilan rakyat daerah diatur dalam
Undang-undang. Sedangkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu menetapkan
peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah. Pemerintah Daerah dapat
mengajukan rancangan peraturan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
untuk melaksanakan tugas pembantuan bagi pemerintah provinsi dan otonomi daerah
bagi pemerintah kabupaten dan kota. Gubernur, Bupati dan Walikota mengajukan
rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah
setiap tahun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rancangan peraturan daerah
tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dikonsultasikan dan
dibahas oleh Pemerintah Pusat. Untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten atau kota dikonsultasikan kepada Gubernur.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di
daerah provinsi maupun di daerah kabupaten dan kota pada umumnya menjalankan
kekuasaan legislatif sehingga dikenal sebagai lembaga legistlatif. Namun,
sebenarnya fungsi legislative di daerah tidak sepenuhnya berada di tangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah seperti fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dalam hubungannya dengan Presiden. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal
20 ayat (1) Dewan Perwakilan Rakya ditentukan memegang kekusaan membentuk
Undang-Undang, juncto Pasal 5 ayat
(1) dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 hasil perubahan pertama. Adapun kewenangan menetapkan
Peraturan Daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten dan kota, tetap berada
di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat daerah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap memegang kekuasaan
eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi tersebut harus
dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan
lembaga pengintrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah[15].
Pembentukan daerah otonomi yang baik tentu harus
berdasar pada prinsip pelaksanaan Pemerintahan yang baik (good governance),
perimbangan fungsi dan kewenangan lembaga pemerintahan daerah harus bersifat
proporsional. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hanya bersifat sebagai
lembaga pengontrol perlu untuk diberi fungsi legislatif yang adil sehingga
terwujud sistem (checks and balances) di tataran pemerintahan daerah. Fungsi
mengusulkan rancangan dan/atau membentuk peraturan daerah, fungsi pengawasan,
serta fungsi lainnya yang berkenaan dengan wewenang legislatif penting untuk
diterapkan atau dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain fungsi,
tugas, dan wewenang yang proporsional, mekanisme pembentukan peraturan daerah
juga perlu diperbaiki mengingat sealama ini proses penyusunan peraturan
daerah/legislasi di daerah masih terbengkalai dan tidak dilaksanakan secara
professional.
Implikiasi langsung pada pola penyusunan peraturan
daerah/legislasi di daerah yang tidak cermat pada akhirnya akan menimbulkan
sistem pelaksanaan tata pemerintahan dan kebijakan yang tidak mencerminkan cita
masyarakat daerah. Penyusunan
pola legislasi daerah haruslah mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Pada prinsipnya, harus mampu mendamaikan
kepentingan pusat melalui pemerintah pusat dengan kepentingan daerah yang terepresentasi
melalui lembaga legislasi daerah. Pada pelaksanaannya,
harus dapat menghindari kemungkinan deadlock ketika proses legislasi. Dalam hal legislasi daerah, usul
perubahan ini mencontoh pola legislasi di pusat dengan model legislasi presidensial di
mana eksekutif tidak ikut membahas rancangan peraturan daerah, tetapi dapat mengajukan
raperda. Namun, eksekutif daerah tidak diberikan hak veto mengingat kontrol atas perda
dapat dilakukan oleh pengadilan (MK) bila bertentangan
dengan peraturan di atasnya.
[1] Aminuddin Ilmar, Membangun Negara Hukum Indonesia, Makassar;Phinatama
media, 2014, hlm. 73.
[2] Aminuddin Ilmar, Op.Cit.,hlm. 32.
[3] Hans Kelsen, Op.Cit, hlm 445.
[4] Tulia G. Faletti memberikan
catatan komparatif atas beberapa literature politik yang berbicara tentang
desentralisasi
sebagai sebuah proses. Ia menuliskan, “the political science literature has
advanced definitions of decentralization as a process.
However, they tend to be too narrow—including only one (Agrawal
2001, 3; Rondinelli and Nellis 1986, 5) or at most two dimensions of the
process (Garman etal. 2001, 206; O’Neill 1999, 27–29; Treisman 2000, 837)—or
too encompassing—including the devolution of authority to non–state
actors (Cheema and Rondinelli 1983, 24–25; von Haldenwang 1991,
60–62)”.
Lihat: Tulia G. Faletti, “A Sequential Theory of Decentralization and Its
Effect on the Intergovermental Balance of Power: Latin
American Cases in Comparative Perspectives”, Working Paper, # 314, July 2004
[5]
Joebiarto, Perkembangan Pemerintahan
Lokal, Jakarta: Bina Aksara, 1992.
[6]
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi
Daerah, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 5.
[7]
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 29.
[8] Rondinelli dan Cheema, Decentralization
and Development: Policy Implementation in Developing Countries. 1983.
[9] Aminuddin Ilmar, Op.Cit., hlm. 77-78.
[11] Aminuddin Ilmar, Op.Cit, hlm. 45.
[12] Jimly Asshiddiqie (ed), Op.Cit., hlm. 220.
[13] Jimly Asshiddiqie (ed), Ibid.,
hlm. 238.
[14] Jimly Asshiddiqie (ed), Ibid.,
hlm. 239.
[15] Jimly Asshiddiqie (ed), Ibid,
hlm. 241.
0 komentar:
Post a Comment