BAB
I
Pendahuluan
A. Latar
belakang masalah
Perkembangan tindak pidana korupsi pertama
kali dilansir oleh Kongres Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) mengenai The
Prevention of Crime and the Treatment of Offender. Para anggota PBB
menyadari bahwa kejahatan korupsi telah melampaui batas-batas teritorial
masing-masing negara. Tetapi laju perkembangan ekonomi dan perdagangan
sebenarnya turut memacu perkembangan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan
suatu kejahatan yang sangat kompleks. Dari sudut politik, korupsi
merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi kredibilitas pemerintah. Dari
sudut ekonomi, korupsi merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kerugian
keuangan negara dalam jumlah besar. Dari sudut budaya, korupsi merusak moral
dan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.
Korupsi tidak saja terjadi pada sektor
publik, namun bisa juga merambah pada sektor swasta manakala aktifitas
bisnisnya berhubungan atau terkait dengan sektor publik seperti sektor
perpajakan, perbankan dan pelayanan publik. Sektor perbankan merupakan
sektor/bidang yang rawan tindak pidana korupsi. Karena perbankan merupakan
lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat. Perkembangan tindak pidana korupsi di bidang perbankan berkembang
seiring meningkatnya industri perbankan sebagai lokomotif pembangunan nasional.
Dampak terjadinya tindak pidana korupsi di bidang
perbankan bukan saja bagi
pihak yang menjadi korban, namun akan menimbulkan kesan negatif bagi lembaga
keuangan/perbankan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena bank adalah lembaga
yang mekanisme operasionalnya berasaskan pada hubungan kepercayaan (fiduary
relation), hubungan kerahasian (confidental relation) dan
hubungan kehati-hatian (prudential relation) Berdasarkan uraian
inilah, maka penulis tertarik untuk menganalisis lebih jauh tentang terjadinya
tindak pidana korupsi di bidang perbankan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dan
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut
Sudarto istilah korupsi berasal dari perkataan “corruption” yang
berarti kerusakan. Misalnya dapat dipakai dalam kalimat Naskah Kuno Negara
Kertagama ada yang Corrupt (= rusak). Disamping itu
perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang
busuk. Korupsi banyak disangkutkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang
keuangan. Robert Klitgaard[5],
mengemukakan bahwa korupsi terjadi karena adanya kekuasaan monopoli atas sumber
daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk mengelolanya tanpa
disertai pertanggungjawaban. Ketiga unsur tadi merupakan satu kesatuan yang
akan selalu menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi.
Yang
menarik adalah pendapat bahwa korupsi termasuk dalam kelompok kecurangan (fraud).
Dalam buku ajar yang ditulis oleh Jones dan Bates dinyatakan bahwa
menurut Theft act 1968 yang termasuk dalam fraud adalah
penggelapan yang mencakup berbagai jenis kecurangan antara lain penipuan yang
disengaja, pemalsuan rekening, praktik korupsi dan lain-lain.[6] Sedangkan
secara yuridis, pengertian korupsi dapat diidentifikasikan dari rumusan-rumusan
perbuatan yang dapat dihukum karena tindak pidana korupsi berdasarkan
Undang-Undang No. 31. Tahun 1999 Junto Undang-Undang No. 20. Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1.
Pasal 2 ayat (1) : setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.
Pasal 3 : setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi menyalagunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara.
3.
Pasal 5,6,7,8,9,10,11, 12 : setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417 dan 418 KUHP.
4.
Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah
atau janji kepada pegawai negeri dengan menggunakan kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatan, kedudukannya.
5.
Pasal 14 : setiap orang yang melanggar
ketentuan undang-undang yang secara tegas mengatakan bahwa pelanggaran terhadap
tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana korupsi meliputi ; melawan hukum,
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Apabila dikaji karakteristiknya, kejahatan
korupsi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : kejahatan tersebut sulit dilihat,
karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin ;
kejahatan tersebut sangat kompleks karena selalu berkaitan dengan kebohongan,
penipuan dan pencurian ; terjadi penyebaran tanggung jawab yang semakin meluas
akibat kompleksitas organisasi ; penyebaran korban yang luas ; hambatan
dalam pendeteksian dan penuntutan akibat kurang profesionalnya aparat ;
eraturan yang tidak jelas sehingga merugikan dalam penegakan hukum ; pandangan
yang mendua terhadap pelaku. Menurut J. Soewartojo, ada beberapa bentuk tindak
pidana korupsi, yaitu :
1. Pungutan
liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea
cukai, pemerasan dan penyuapan.
2. Pungutan
liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi
dalam tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin, kenaikan pangkat,
pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan di jalan,
pelabuhan, dan sebagainya.
3. Pungutan
liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu pungutan yang
dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan
surat-surat keputusan saja.
4. Penyuapan,
yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau
keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
5. Pemerasan,
yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain
sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
6. Pencurian,
yaitu orang yang berkuasa menyalagunakan kekuasaannya dan mencuri harta rakyat
langsung atau tidak langsung.
7. Nepotisme,
yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga dan
kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakukan
secara adil.
Kemudian menurut Konvensi PBB Anti Korupsi
tahun 2003, ada 4 (empat) tipe tindak pidana korupsi, sebagai berikut :
1. Tindak
pidana korupsi penyuapan pejabat publik nasional
2. Tindak
pidana korupsi penyuapan di sektor swasta
3. Tindak
pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya secara tidak sah
4. Tindak
pidana korupsi terhadap memperdagangkan pengaruh
B. Pengertian Tindak Pidana Perbankan Dan
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perbankan
Terkait
dengan pengertian tindak pidana perbankan, terdapat perbedaan pendapat antar para
ahli. Bagi sebagian ahli yang memilih istilah “tindak pidana di bidang
perbankan” argumentasi yang dikemukakan bahwa pengertian dari istilah ini
mencakup ruang lingkup yang lebih luas. Hal ini dikarenakan tindak pidana di
bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan
kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank. Menurut Edi Setiadi dan Rena
Yulia, rumusan tersebut kurang komprehensif, karena masih banyak
kegiatan-kegiatan perbankan yang tidak ter-cover. Oleh karena itu, hendaknya
rumusan tindak pidana perbankan harus luwes, yaitu segala perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan-kebiasaan yang
berhubungan dengan dunia perbankan.
Sedangkan
bagi para ahli yang menggunakan istilah “kejahatan perbankan” argumentasi yang
dikemukakan cenderung bermuara para kejahatan kerah putih yang dipopulerkan
oleh E. H. Suterland. Secara konseptual kejahatan kerah putih ini digunakan
untuk mengindentifikasikan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan pengusaha/eksekutif
dan pejabat yang akibatnya merugikan kepentingan umum. Oleh karena pelaku
perbuatan melanggar hukum di bidang perbankan dapat dikatakan hampir semuanya
berasal dari kalangan pengusaha/eksekutif dan pejabat, maka istilah yang
dipakai adalah kejahatan perbankan. Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan tidak merumuskan tentang pengertian tindak pidana perbankan.
Undang-undang ini hanya mengkategorikan beberapa perbuatan yang termasuk dalam
kejahatan, dan beberapa perbuatan yang termasuk pelanggaran. Jadi undang-undang
perbankan hanya mengklasifikasikan suatu perbuatan bukan merumuskan pengertian
kejahatan perbankan/tindak pidana perbankan.
Beberapa
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perbankan dan telah diatur
dalam perundang-undangan lain adalah :
1.
Dalam KUHP, Buku II Bab X tentang Pemalsuan
Mata Uang dan Uang Kertas, yaitu Pasal 244, 245, 246, 249 dan 250.
2.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ;
a.
Pasal 46 : menjalankan usaha bank tanpa ijin
Menteri Keuangan
b.
Pasal 47 : larangan bagi bank untuk
memberikan keterangan tentang keadaan keuangan nasabahnya yang tercatat padanya
dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh Bank menurut kelajiman dalam
dunia perbankan
c.
Pasal 47 a : memberi keterangan tentang
hal-hal yang harus dirahasiakan oleh anggota direksi atau pegawai bank
d.
Pasal 48 : dengan sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib diberikan oleh anggota direksi atau pegawai bank
3.
Dalam Undang-Undang No. 13. Tahun 1968
tentang Bank Sentral. Pasal 59 ayat (2) menentukan bahwa tindak pidana berupa
kejahatan apabila Gubernur, Direktur dan pegawai bank, komisaris pemerintah
serta sekretariat dewan moneter dan pegawai sekretariat dewan komisaris
pemerintah memberikan keterangan yang diperoleh karena jabatannya kecuali
apabila diperlukan untuk pelaksanaan tugasnya atau untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban menurut undang-undang ini.
Pasal 48 Jo Pasal 58 menentukan hukuman denda
kepada badan-badan dan atau kesatuan ekonomi yang tidak memberikan keterangan
dan bahan-bahan yang diperlukan oleh bank sentral dalam melaksanakan tugas dan
usahanya. Sedangkan tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran dalam
bidang perbankan, adalah bagi anggota Dewan Komisaris, direksi dan pegawai bank
yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi. Rumusan lengkapnya dapat
dilihat dalam Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Dalam tindak
pidana perbankan karakteristiknya bisa bank sebagai korban misalnya penipuan,
dan pemalsuan surat-surat bank maka ancaman pidana bisa menggunakan pasal-pasal
dalam KUHP seperti Pasal 263,264 dan 378 KUHP. Sedangkan jika bank sebagai
pelaku misalnya perbuatan window dressing, menetapkan
suku bunga yang berlebihan, memberikan kartu kredit yang tidak wajar,
menjalankan usaha bank dalam bank, menjalankan usaha bank tanpa ijin serta
menjalankan usaha yang menyerupai bank, ancaman pidananya bisa menggunakan
pasal-pasal dalam undang-undang perbankan.
Apabila pelakunya bank sebagai korporasi,
modus operandinya bisa bermacam-macam. Kejahatan ini dikategorikan
sebagai criminal banking dan selalu dilakukan
secara organized. Dalam pengertian ini, maka kegiatan
perbankan hanyalah merupakan kamuplase karena seluruh kegiatannya adalah systemic
voiolation of the law for thr purposes of making a profit (suatu
perbuatan melawan hukum secara sistematis untuk mencari keuntungan). Biasanya
yang paling populer dari criminal banking ini
adalah money laundering dan window dressing atau
dalam undang-undang perbankan sendiri telah ditentukan misalnya melakukan
kegiatan perbankan tanpa ijin, berhubungan dengan rahasia bank, kewajiban
memberi keterangan kepada Bank Indonesia dan memberi keterangan yang tidak
benar.
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya
Korupsi Di Bidang Perbankan Dan Upaya Penanggulangannya.
Berkembangknya
kejahatan di bidang perbankan disinyalir karena lemahnya pengawasan internal
bank dari bank sentral. Hal ini bisa disebabkan oleh :
1.
Ketidaktelitian melakukan pengawasan
mengingat besarnya jumlah transaksi harian di bank dan kantor cabang.
2.
Ketidaktahuan dalam teknik pengawasan
internal bank (lemahnya profesionalisme).
3.
Adanya unsur moral hazzard,
yaitu terjadinya kolusi antara pengawas bank dengan pejabat perbankan dari luar
untuk melakukan kejahatan.
Selain itu sulitnya memberantas kejahatan
perbankan disebabkan pelaku menggunakan modus operandi yang sulit dibedakan
dengan modus operandi ekonomi lainnya, kemudian tindak pidana perbankan ini
memerlukan penanganan yang khusus dari aparat penegak hukum. Faktor penyebab
korupsi di bidang perbankan dapat pula diamati dari berbagai aspek. Aspek
pelaku, aspek lingkungan/masyarakat, aspek peraturan perundang-undangan dapat
dijadikan bahan penilaian penyebab korupsi di bidang perbankan.
a.
Aspek pelaku
Sikap
tamak yang ada dalam diri pelaku bisa mendorong pelaku untuk melakukan korupsi,
walaupun penghasilan yang dimilikinya sudah tinggi bahkan mungkin berlebihan.
Berapa pun besarnya kekayaan yang dimiliki seseorang, apabila ada kesempatan
untuk melakukan korupsi maka ia akan melakukannya juga. Moral yang tidak kuat
cenderung lebih mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan ini bisa berasal
dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak luar yang dilayani (nasabah)
yang memberi kesempatan untuk itu. Penghasilan yang kurang mencukupi
kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup yang
konsumtif, juga bisa menjadi faktor penyebab korupsi di bidang perbankan.
b.
Aspek lingkungan/masyarakat
Aspek
lingkungan atau masyarakat turut mempengaruhi perilaku seseorang untuk
melakukan perbuatan korupsi. Seringkali masyarakat menghargai seseorang karena
kekayaan yang dimilikinya, tanpa diimbangi dengan sikap kritis dari mana
kekayaan itu berasal atau diperolehnya. Demikian juga budaya sogok menyogok
jika nasabah yang ingin mendapatkan kredit dengan cepat padahal tidak memenuhi
kriteria, maka dia akan menyogok pegawai bank untuk kelancaran administrasinya.
Masyarakat juga kurang berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, karena
menganggap bahwa itu adalah tugas negara, sebab keuangan negara yang dirugikan.
Padahal, sebetulnya kekayaan atau keuangan negara yang dicuri tersebut akan
dipergunakan dalam pembangunan demi kesejahteraan masyarakat juga.
c.
Aspek peraturan perundang-undangan
Peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan seringkali menimbulkan banyak celah
sehingga mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin melakukan korupsi.
Perumusan perundang-undangan seringkali tidak disertai dengan telaah akademik,
kalaupun ada itu pun hanya sekedar formalitas saja. Begitu pula kurang
efektifnya judical reviuw yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam suatu produk hukum, misalnya
Keppres.Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah peraturan yang kurang
disosialisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat awam tidak mengetahuinya.
Padahal ketika disosialisasi atau disebarluaskan kepada masyarakat akan
menyebabkan deteren efect yaitu kurangnya korupsi
karena calon karuptor merasa takut terhadap hukuman yang terdapat dalam
perundang-undangan tersebut, dan tentunya ia akan malu ketika masyarakat
mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah korupsi. Belum lagi
penerapan sanksi yang terlalu ringan dan pandang bulu. Menyebabkan lemahnya
pemberantasan korupsi karena tidak menimbulkan efek jerah kepada pelaku.
Pendayagunaan semua cara untuk memberantas
kejahatan di bidang perbankan perlu dilakukan mengingat aparat penegak hukum seolah-olah
tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya, dikarenakan :
1. Kedudukan
ekonomi atau politik yang kuat dari pelaku.
2. Keadaan-keadaan
di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga
mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut.
Penegakan hukum di bidang perbankan dan
kejahatan perbankan bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam bidang
hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Terkait dengan penegakan
hukum di bidang hukum pidana, pemberantasan atau upaya penanggulangan korupsi
di bidang perbankan dapat ditempuh dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana) dan sarana non penal. Sarana penal dapat dilakukan melalui penerapan
hukum pidana dan hukum administrasi pidana sebagai sarana shock
therapy. Sedangkan sarana non penal dapat dilakukan melalui cara
pengawasan (built in control), perbaikan sistem pengawasan dan
penguatan regulasi melalui penerapan prinsip kehati-hatian, menetapkan jaring
pengaman sektor keuangan (financial safety net), pemantapan
sistem perbankan yang mengarahkan perbanknan kepada praktik-praktik good
corporate governance serta pemenuhan prinsip kehati-hatian,
profesionalisme aparat terus ditingkatkan sehingga mempunyai kemampuan
integritas yang tinggi, mempunyai kompetensi yang cukup, serta mempunyai
reputasi keuangan yang baik ataupun langkah-langkah non yuridis dalam bentuk
tindakan opini masyarakat serta sosialisasi terhadap masyarakat.
Secara spesifik, penegakan hukum dan
pencegahan kejahatan perbankan dapat ditempuh melalui :
1.
Perlu adanya peningkatan kemampuan penyidik
dalam bidang akunting dan keuangan.
2.
Sistem pengawasan dari pihak bank yang
efektif dan ini bisa dilakukan kalau rekuitmen pegawai lebih menekankan kepada
mental idiologi.
3.
Perluasan kewenangan penyidik dalam rangka
menjalankan tugasnya, bukan hanya sekedar menyangkut rahasia bank.
4.
Perlu pembaharuan perundang-undangan dalam
bidang ekonomiu in casuundang-undang perbankan.
BAB
III
PENUTUP
Korupsi merupakan perbuatan melawan hukum
yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
sehingga menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Korupsi dapat
terjadi di sektor publik dan juga sektor swasta. Salah satu bidang dalam sektor
swasta yang rawan tindak pidana korupsi adalah bidang perbankan. Tindak pidana
di bidang perbankan sendiri adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan-kebiasaan di bidang perbankan.
Segala kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 a,
Pasal 48 Undang-Undang No. 10. Tahun 1998 yang dilakukan untuk memperkaya diri
sendiri, orang lain atau korporasi sehingga menimbulkan kerugian negara
merupakan bentuk korupsi di bidang perbankan.
Faktor penyebab terjadinya korupsi di bidang
perbankan dapat dilihat dari berbagai aspek. Baik itu aspek pelakunya, aspek
lingkungan/masyarakat dan aspek perundang-undangan. Selain itu lemahnya
pengawasan internal dari bank sentral serta kedudukan/status ekonomi atau
politik pelaku dan keadaan di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu
sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau
dituntut. Penegakan hukum dalam halpencegahan dan pemberantasan (upaya
penanggulangan) korupsi di bidang perbankan dapat dilakukan melalui sarana
penal (penggunaan hukum pidana dan hukum administrasi pidana) dan sarana non
penal (lebih kepada peningkatan sistem pengawasan, penerapan prinsip
kehati-hatian, menetapkan jaring pengaman sektor keuangan (financial
safety net), pemantapan sistem perbankan yang mengarahkan perbankan
kepada praktik-praktik good corporate governance. serta
sosialisasi terhadap masyarakat).
Korupsi merupakan perbuatan yang melawan
hukum, sehingga perlu adanya kesadaran dalam diri setiap individu untuk tidak
melakukannya, perlu ditingkatkan profesionalisme aparat penegak hukum dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang perbankan.
Penerapan sanksi terhadap pelaku pun tidak boleh diskriminasi sehingga ada efek
jerah bagi pelaku.
.
DAFTAR
PUSTAKA
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum
Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogjakarta, 2010.
Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi,
Penerbit Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2004.
H. A. K. Moch. Anwar, Tindak
Pidana di Bidang Perbankan, Alumni, Bandung, 1986.
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Alumni,
Bandung, 2007.
M. Sholehuddin, Tindak Pidana
Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Robert Klitgaard, Penuntut
Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2002.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, 1986.
0 komentar:
Post a Comment