BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu karakteristik agama Islam pada masa awal penampilannya, ialah kejayaan di
bidang politik. Penuturan sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan itu sejak
nabi Muhammad s.a.w sendiri (periode Madinah) sampai masa-masa jauh sesudah
beliau wafat. Terjalin dengan kejayaan politik itu ialah sukses yang
spektakuler ekspansi militer kaum muslimin, khususnya yang terjadi di bawah
pimpinan sahabat nabi. Maxim rodinson seorang Marxis ahli Islam, menegaskan
bahwa agama Islam menyuguhkan kepada para pemeluknya suatu proyek
kemayarakatan, suatu program yan harus diwujudkan di muka bumi. Karena itu,
kata Rodinson, Agama Islam tidak bisa disamakan dengan agama kristen atau
budhisme, sebab Islam tidak hanya menampilkan dirinya sendiri sebagai
penghimpunan kaum beriman yang mempercayai kebenaran satu dan sama, melainkan
juga sebagai suatu masyarakat yang total.
Diskursus mengenai Islam dan Negara ini
menjadi suatu topik yang menarik untuk dibicarakan. Pertanyaan mengenai apakah
Islam mempunyai suatu tata aturan negara yang khusus atau tidak, menjadi
sorotan dalam masalah ini. Namun yang menjadi persoalan adalah nabi tidak
meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara
itu, misalnya bagaimana sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak
menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala negara bertanggung jawab dan
bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Kontroversi inilah yang
menjadikan penulis tergerak untuk mengkaji hubungan Islam dan negara.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
hubungan Islam dengan ketatanegaraan ?
2.
Bagaimana hubungan antara islam dan
politik kenegaraan ?
3.
Bagaimana perkembangan Ideologi di
Indonesia?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui hubungan Islam dengan ketatanegaraan.
2.
Untuk menegatahui hubungan antara islam
dan politik kenegaraan.
3.
Untuk mengetahui perkembangan Ideologi
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Relasi
agama (Islam) dan Negara
Jika
disebut negara, pasti ia sebuah teritorial kekuasaan (wilayah) dengan
seperangkat perundang-undangan (konstitusi) serta adanya penguasa dan rakyat.
Dalam hubungannya dengan agama, negara terasa penting sebagai wasilah pembumian
konsepsi-konsepsi dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab dari
situ akan dapat dikatakan sejauh mana tingkat kebudayaan dan peradaban suatu
bangsa, termasuk seberapa besar refleksi keberagaman ter-ejawatah-kan dalam
keseharian sebuah pemeritahan. Semua sangat bergantung kepada kemauannya
sebagai penguasa karena annasu ‘ala dini mulukihim/ masyarakat itu cenderung
mengikuti pola dan perilaku pemimpinnya.
Relasi
Agama (Islam) dan negara menurut para sosiologi teotisi politik islam
merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan negara. Teori tersebut
dapat diketahui melalui 3 paradigma pemikiran yaitu
1. Paradigma
integralistik (unifed paradigm) Paradigma integralistik adalah suatu paradigma
yang menempatkan agama dan negara sebagai kesatuan yang utuh. Wilayah agama
meliputi politik atau negara sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini,
kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi"
(divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan
berasal dan berada di "Tangan Tuhan".
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199
berkata : “dikatakanlah bahwa agama dan negara adalah dua saudara kembar.
Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala
sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” Tokoh-tokoh
pendukung paradigma ini antara lain Imam khomeini, Mohammad Natsir, Zainal
Abidin Ahmad. Menurut Imam khomeini, “dalam negara Islam wewenang menetapkan
hukum berada pada Tuhan. Tidak seorang pun berhak menetapkan hukum. Dan yang
boleh berlaku hanya hukum Tuhan”. Abu al-A’la al-maududi menambahkan: “syarih
adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan
kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang”. Menurut
pandangan Mohammad Natsir tentang hubungan agama (Islam) dan negara yang
tercantum dalam bukunya yang berjudul islam sebagai ideologie, natsir membahas
masalah hubungan Islam dan negara mendasarkan uraiannya pada ayat Al-Qur’an:
“dan kami tidak jadikan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada Aku”
(an-naml ayat 56) dari ayat ini Natsir mengembangkan teorinya dengan
mengatakan:..”seorang Islam hidup diatas dunia ini dengan cita-cita kehidupan
supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba
Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat
tidak mungkin dapat dipisahkan dari idiologi mereka. Selanjutnya di dalihkan
bahwa negara sebagai negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang
mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya
dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi Natsir, negara adalah alat bagi
Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan dan kesentosaan
manusia. Karena itu Natsir membela prinsip persatuan agama dengan negara. Menurut
pandangan Zainal Abidin Ahmad dalam pidatonya di depan Majelis Konstituante,
mengajukan dua alasan pokok mengapa Islam dipilihnya sebagai dasar negara.
Pertama, kelompok penguasa harus mendapat persetujuan dari golongan rakyat
mayoritas, dan kedua golongan minoritas haruslah terjamin hak-haknya. Syarat
pertama, menurutnya, sudah jelas, sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah
penganut Islam, tetapi bila dilihat dari sudut pandang politik, alasan semacam
ini bersifat ilusif, Ahmad mengutip pendapat seorang penulis yang mengatakan
bahwa dalam Islam “..agama untuk tuhan, dan tanah air untuk manusia bersama”,
dengan tidak memandang agama, perbedaan ras, kecenderungan politik mereka dll.
Adapun tentang prinsip kedua, Ahmad menjamin bahwa dalam suatu negara Islam seperti
yang diciptakan Nabi di Madinah, warga negaranya tidak hanya terdiri dari umat
Islam, tetapi juga orang munafik dan yahudi. Mereka semua menikmati status yang
sama. Kaum non muslim tersebut dinamakan sebagai " Mu'ahad". Mereka
ini adalah orang-orang yang bukan muslim , yang telah berjanji setia kepada
negara Islam , yaitu golongan minoritas dalam negara Islam . Dan Allah SWT
menjamin hak atas keselamatan jiwa mereka. Hadits shahih dari
bukhari: Dari Abdullah bin Amru r.a.
dari Nabi saw. beliau bersabda : " Siapa yang membunuh seorang mu'ahad
tidak akan membaui bau surga, sedang baunya itu tercium sejauh perjalanan empat
puluh tahun”. Contoh-contoh negara yang menggunakan idiologi ini ialah Arab
Saudi, Malaysia, Iran, Mauritania, Pakistan.
2. Paradigma
Simbiotik,
Paradigma
ini menempatkan relasi Agama dan Negara bersifat timbal balik dan saling
memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama
dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan
agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Al
Mawardy mengatakan: “kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan
misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia”. Argumen ini didukung
oleh Ibnu Taimiyah: sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia
merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara, agama
tidak bisa berdiri tegak”.
3. Paradigma
Sekularistik, Paradigma ini mengajukan pemisahan agama atas Negara dan
pemisahan negara atas negara. Ali abd Ar-Raziq menjelaskan: “Islam tidak
menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum
muslim suatu sistem pemerintah tertentu lewat mana mereka harus diperintah,
tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan
negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita
milki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman”.
Sedangkan
menurut Nurcholis Madjid, agama merupakan masalah spiritual-pribadi yang tidak
dapat, tidak boleh, dan tidak mungkin mencampuri urusan kenegaraan yang
merupakan masalah rasional kolektif. Agama dan negara mempunyai dimensi
sendiri-sendiri dengan jalur pendekatan yang berbeda pula. Oleh karena itu,
menurut Nurkholis Madjid identitas Islam tidak mungkin diterapkan kepada
negara, karena negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya
rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain (ukhrawi)
yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Contoh Negara sekuler adalah Amerika,
inggris, dan sebagainya.
Menurut Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) ada
tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara, yaitu responsi
integratif, responsi fakultatif dan responsi konfrontatif. Dalam responsi
integratif, Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali
tidak menghubungkan ajaran agama dengan kenegaraan. Sedangkan responsi
fakultatif, jika kekuatan mereka cukup besar di parlemen, kaum muslimin atau
gerakan Islam, akan berusaha membuat peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan ajaran Islam. Sedangkan responsi konfrontatif adalah sejak awal menolak
kehadiran hal-hal yang dianggap "tidak Islami".
B.
Polemik
Ideologi Indonesia
WACANA
hubungan negara dan agama belum selesai. Masih dipersoalkan apakah Indonesia
negara sekuler, negara agama, atau negara apa? Banyak orang menganggap
Indonesia sebagai negara sekuler.(Kompas, 13/2/2002).
"Konstitusi tidak tegas, Presiden juga tidak tegas menyatakan negara kita adalah negara agama atau sekuler. 'Kita adalah negara sekuler', tegaskan itu agar tidak terjadi lagi kekerasan yang mengataskan nama mayoritas terhadap kaum minoritas," tegas Thamrin dalam diskusi di Wahid Institute, Kegamangan pemerintah itulah, menurutnya yang menyebabkan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok mayoritas terhadap kaum minoritas dengan mengatasnamakan agama dan memaksakan pembenaran atas tafsir-tafsir tertentu.
"Konstitusi tidak tegas, Presiden juga tidak tegas menyatakan negara kita adalah negara agama atau sekuler. 'Kita adalah negara sekuler', tegaskan itu agar tidak terjadi lagi kekerasan yang mengataskan nama mayoritas terhadap kaum minoritas," tegas Thamrin dalam diskusi di Wahid Institute, Kegamangan pemerintah itulah, menurutnya yang menyebabkan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok mayoritas terhadap kaum minoritas dengan mengatasnamakan agama dan memaksakan pembenaran atas tafsir-tafsir tertentu.
Dari
segi freedom of religion, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menjamin seseorang
bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur
tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti
ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya
dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya. Namun, Ayat 1 yang berbunyi
'negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa' tidak sesuai prinsip negara
sekuler.
Dalam
negara sekuler, tidak ada departemen agama dan semua agama tersubordinasi di
bawah negara. Agama dan lembaga-lembaga agama bersifat otonom. "A
free church in a free state", kata Cavour. Di Indonesia, ada departemen
agama yang mengatur administrasi agama. Apabila Indonesia adalah negara
sekuler, negara tidak memberi bantuan apa pun kepada lembaga agama. Departemen
Agama harus bubar, dualisme peradilan (negeri dan agama) harus dihilangkan
karena negara sekuler meniscayakan tata hukum sipil yang seragam (uniform civil
code). Belum lagi berbagai kebijakan seperti perayaan hari-hari besar agama,
regulasi tanah-tanah wakaf, pengurusan haji, lembaga-lembaga pendidikan agama
seperti IAIN dan madrasah, pembangunan sarana agama seperti Islamic
centre oleh pemerintah, undang-undang zakat, labelisasi halal bagi makanan
dan minuman, dan sebagainya.
Indonesia
mengambil jalan tengahnya, yaitu menjadi negara yang berideologi Pancasila.
Negara pancasila sebagai hybrid budaya adalah jalan tengah (middle
path) antara negara agama dan negara sekuler. Negara Pancasila lebih cocok
dengan tradisi agama dan politik di Indonesia.
Rumusan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, dan bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Rumusan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, dan bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Dalam
Negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup berkembang dan didukung negara.
Negara Pancasila menyatukan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai
kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama meski tidak menyatakan
satu agama sebagai agama negara.
Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait dengan tradisi keagamaan tertentu. Posisi Pancasila semacam ini mirip dengan civil religion dalam negara-negara multi-agama, meski konsep civil religion belum diakui resmi (Carl & David, Questioning the Secular State, 1996). Pancasila juga mirip, meski tidak sama, dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) di masa Nabi Muhammad SAW, dalam pengertian memiliki butir-butir kesepakatan dari beragam unsur agama dan suku untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran bersama.
Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait dengan tradisi keagamaan tertentu. Posisi Pancasila semacam ini mirip dengan civil religion dalam negara-negara multi-agama, meski konsep civil religion belum diakui resmi (Carl & David, Questioning the Secular State, 1996). Pancasila juga mirip, meski tidak sama, dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) di masa Nabi Muhammad SAW, dalam pengertian memiliki butir-butir kesepakatan dari beragam unsur agama dan suku untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran bersama.
Dalam
Negara Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam
kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik.
Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional
seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah
laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena
Negara Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan nonreligius.
Dengan
demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian pemisahan
total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara
sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme,
multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti-diskriminasi,
dapat diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral
agama juga didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam
kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara.
C.
Islam dan Nasionalisme
Nasionalisme
pada hakikatnya merupakan gerakan politik yang meneriakan hak setiap bangsa
untuk menentukan nasibnya secara independen. Gerakan ini telah tumbuh dan
berkembang di Eropa dalam beberapa abad yang lalu dan menjadi kekuatan
penggerak bagi sejarah politik Eropa. Dengan nasionalisme, Jerman dan Italia
berhasil mewujudkan kesatuan dan kemerdekaan politik mereka. Dengan
nasionalisme pula Negara-negara Balkan berhasil melepaskan diri dari imperium
Turki ottoman. Jadi, intinya nasionalisme adalah gerakan politik yang
mengupayakan terbentuknya kesatuan politik yang independen dikalangan bangsa
tertentu
Secara
normatif, dikalangan umat Islam muncul beberapa pemikir yang mempertentangkan
antara Islam dan Nasionalisme. Tapi tidak semua pemikir Islam mempertentangkan
antara keduanya. Sebagian justru memandangnya secara tidak bertentangan. Dari
kalangan yang mempertentangkan itu dapat disebutkan misalnya, Jammi’yah Ikhwan
Al-muslimin. Mereka menentang Islam dengan Nasionalisme, karena mereka
mencampuradukan dan menyamakan antara nasionalisme dengan resisme (al-‘unshuriyah)
yang ditentang oleh solidaritas persaudaraan Islam. Tapi pandangan Ikhwan Al-
muslim di Mesir itu juga mengalami perkembangan yang cukup berarti. Dalam
pencermatan mereka yang lebih lanjut, Ikhwan Al-muslim lalu mendukung
Nasinalisme. Ini disebabkan mereka melihat kenyataan bahwa islam sebagai agama
adalah sebentuk “nasionalisme” yang mempersatukan setiap bangsa yang beragama
islam.
Ismail yusanto menulis tiga variasi kelompok dalam menyikapi hubungan antar islam dengan nasionalisme. Pertama, kelompok yang tidak mempersoalkan paham nasionalisme, bahkan menganggap nasionalisme adalah sebuah kemestian, bagian dari pandangan hidup atau ideology yang bukan hanya harus diterima oleh islam, tetapi juga harus dijunjung tinggi, diperjuangkan dan dibela. Agama, dalam hal ini islam tidak dianggap bertentangan dengan paham nasionalisme. Kedua, kelompok yang tidak menolak paham nasionalisme, tetapi juga tidak menerimanya secara membabi buta. Kelompok ini berusaha melakukan perujukan antara nasionalisme dengan agama. Agar nasionalisme tidak bertentangan dengan islam, maka bagi mereka nasionalisme harus harus bernuansa religious. Sementara, dari sisi islam, mereka mencarikan argument falsafah dan teologis untuk membenarkan paham nasionalisme. Ketiga, kelompok yang menolak paham nasionalisme secara tegas. Dalam pandangan mereka, nasionalisme sama sekali tidak dapat diterima islam. Bagi mereka, islam mengajarkan persaudaraan universal yang lahir dari persamaan keyakinan (iman) tanpa melihat latar belakang ras, suku bangsa, dan wilayah atau letak geografis. Sementara, nasionalisme justru mengedepankan sentiment kebangsaan, sehingga mengesampingkan islam sebagai basis persaudaraan universal. Maka, bagi mereka jelas tidak ada tempat buat nasionalisme dalam islam.
Ismail yusanto menulis tiga variasi kelompok dalam menyikapi hubungan antar islam dengan nasionalisme. Pertama, kelompok yang tidak mempersoalkan paham nasionalisme, bahkan menganggap nasionalisme adalah sebuah kemestian, bagian dari pandangan hidup atau ideology yang bukan hanya harus diterima oleh islam, tetapi juga harus dijunjung tinggi, diperjuangkan dan dibela. Agama, dalam hal ini islam tidak dianggap bertentangan dengan paham nasionalisme. Kedua, kelompok yang tidak menolak paham nasionalisme, tetapi juga tidak menerimanya secara membabi buta. Kelompok ini berusaha melakukan perujukan antara nasionalisme dengan agama. Agar nasionalisme tidak bertentangan dengan islam, maka bagi mereka nasionalisme harus harus bernuansa religious. Sementara, dari sisi islam, mereka mencarikan argument falsafah dan teologis untuk membenarkan paham nasionalisme. Ketiga, kelompok yang menolak paham nasionalisme secara tegas. Dalam pandangan mereka, nasionalisme sama sekali tidak dapat diterima islam. Bagi mereka, islam mengajarkan persaudaraan universal yang lahir dari persamaan keyakinan (iman) tanpa melihat latar belakang ras, suku bangsa, dan wilayah atau letak geografis. Sementara, nasionalisme justru mengedepankan sentiment kebangsaan, sehingga mengesampingkan islam sebagai basis persaudaraan universal. Maka, bagi mereka jelas tidak ada tempat buat nasionalisme dalam islam.
Juergensmeyer
mengkaji tentang aktivitas keagamaan secara politis cemerlang dan menaruh
perhatian terhadap masyarakat dimana mereka tinggal. Tidak diragukan banyak
diantara mereka memiliki kawan yang bisa dianggap eksklusif dalam urusan agama,
tetapi ketika orang seperti itu melebur perspektif keagamaan mereka dengan
pandangan yang lebih luas tentang politik dan kehidupan sosial mereka maka
orang harus menemukan istilah yang inklusif. Berdasarkan argumentasi yang
demikian, Juergensmeyer menyebut mereka sebagai kaum nasionalis religious.
Meskipun
mereka menolak ide-ide sekuler, kaum nasionalis religious tidak menolak sama
sekali politik sekuler, termasuk politik bangsa-bangsa. Sebagaimana kita
pahami, Negara-bangsa merupakan format modern kebangsaan dimana otoritas Negara
secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan, apakah
melalui jalan demokratis atau totaliter. Negara-bangsa modern secara moral dan
politis dijustifikasi oleh konsep nasionalisme, tidak hanya sebagai patriotism
Xenofobik, tetapi juga sebagai ekspresi identitas yang lebih lunak yang
didasarkan pada asumsi-asumsi bersama mengenai menagapa suatu komunitas menjadi
sebuah bangsa dan mengapa Negara yang mengaturnya sah.
Kaum
revolusioner religious begitu kuat menolak nasionalisme sekuler yang telah
kehilangan nilai-nilai noral dan spiritual. Penolakan ini sungguh mengejutkan
ilmuwan barat dan para penagmat politik global, yang dua atau tiga decade lalu
mengatakan bahwa munculnya nasionalisme di dunia ketiga bukan hanya penagruh politik
kemenangan barat, tetapi juga salah satu waisan barat yang paling berharga bagi
kehidupan public diseluruh dunia. Juergensmeyer mengkaji bagaimana harapan itu
memudar dan bagaimana nasionalisme sekuler mulai dicerca dunia. Ada persoalan
mendasar, yaitu persaingna agama dalam berbagai bentuknya dan corak
nasionalisme sekuler Eropa dan Amerika.
Nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan islam gerakan gerakan nasional di berbagai belahan dunia islam berkembang dibawah pengaruh kalangna reformis, khususnya Al afghani yang selalu mengajarkan persatuan dalam rangka pra-islamisme yang diperbaharui. Maka tak heran membangkitkan nasionalisme dan merupakan “ideology” yang dapat menjadi segmen kohesi, idenfikasi diri, dan kesatuan moral. Nasionalisme walaupun dikurung dalam satu daerah mula-mula bersifat keagaman.
Nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan islam gerakan gerakan nasional di berbagai belahan dunia islam berkembang dibawah pengaruh kalangna reformis, khususnya Al afghani yang selalu mengajarkan persatuan dalam rangka pra-islamisme yang diperbaharui. Maka tak heran membangkitkan nasionalisme dan merupakan “ideology” yang dapat menjadi segmen kohesi, idenfikasi diri, dan kesatuan moral. Nasionalisme walaupun dikurung dalam satu daerah mula-mula bersifat keagaman.
Itulah
mungkin rahasia mengapa terjadinya perubahan sikap dikalangan reformis islam
terhadap paham nasionalisme. Kaum reformis agama mula-mula menghukum gerakan
nasionalisme sebagai bertentangan dengan wahya Al-quran yang bertujuan untuk
mempersatuka umat islam danmembentuk suatu masyarakat persaudaraan atas dasar
persamaan (agama). Tapi akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dan menerima
gerakan-gerakan kebangsaan sebagai suatu langkah oportunismesatu-satunya yang
dapat memberikan kepada islam dimensipolitik yang diberikan. Maka dari itu,
penyamaan antara nasionalisme eropa dengan nasionalisme Negara-negara islam
termasuk tindakan kelirudan gagabah. Smith Al-Hadar menyebutkan adanya
perbedaan penting antara nasionalisme yang berkembang di Eropa dan yang
berkembang di dunia islam. Di barat, nasionalisme merupakan usaha utuk
membatasi wilayah dan pengaruh agama, sementara di dunia islam diilhami dan
dibantu kelahirannya oleh agama dalam upaya mencari pertolongan dalam
kemerderkaan. Denagn begitu, tak pelak nasionalisme dalam artiannya yang amat
luas menemukan kedekatan dengan agama di Negara-negara muslim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan Islam dan negara menjadi suatu
dasar pemikiran mengenai apakah Islam harus menjadi landasan atau ideologi
untuk diselenggarakannya sebuah tata negara terutama dalam masyarakat muslim.
Pandangan tentangnya menjadi bermacam-macam, dan penerapannyapun di setiap
negara berbeda, ada yang benar-benar menjadikan Islam sebagai ideologi bangsa
dan ada pula yang memisahkan antara keduanya. Sikap bangsa yang demikian tentu
karena lahir dari cara pandangannya mengenai relasi agama dan negara. Terlepas
dari perdebatan itu, negara Indonesia mengambil jalan tengah yakni mengambil
nilai positif dari kedua paradigma (negara agama dan negara sekuler) tentang
agama dan negara. Dengan berideologikan pancasila, agama dan nasionalisme di
negara Indonesia hidup berkembang dan mendapat dukungan. Semua agama mendapat
perhatian dan tidak dibeda-bedakan, meski tetap ada agama mayoritas.
B.
Saran
Islam
sebagai agama yang paling lurus dan suci merupakan pedoman hidup yang kaya akan
nilai-nilai yang luhur untuk kemaslahatan manusia. Posisi Islam sebagai agama
saja terlalu sempit mengingat substansi dari Islam sangat universal dan
mengatur banyak bidang kehidupan manusia. Saya menyarankan agar di diadakan
penelitian lebih lanjut terkait kemungkinan Indonesia untuk menganut sistem
negara Islam mengingat dampak pisitifnya bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Daftar Pustaka
Maarif, Ahmad Syafi’I, 1987, Islam dan
maslah kenegaraan: study tentang peraturan dalam konstituante. Jakarta:LP3ES.
M. Hasbi Amirudin, 2000, Konsep Islam
menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta : UII Press.
Tim penyusun UIN Suka, 2005, Islam dan
Budaya Lokal. Yogyakarta:Pokja UIN Sunan Klaijaga.
Faisal ismail, 2008, Sekularisasi
(membongkar kerancuan pemikiran Nurkholis Madjid), Yogyakarta:Nawessa press.
http:
//www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=315&coid=1&coid=34
Muhammad Ali, kompas 2 Agustus 2002
Misrawi, Zuhairi, 2004, Doktrin Islam
Progresif : Islam Sebagai Ajaran Rahmat, Jakarta: LSIP Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment