JIKA
AKU ADALAH PHINISI
Lalu terdiam dan pecahlah kebekuan ! dimana matahari
? dimana suara lantang Ibuku yang hampir setiap pagi membangunkanku dengan
bualannya yang mulia. Dimana suara riuh adik-adikku yang biasanya sibuk
menyibukkan Orang tuaku yang luar biasa pengasih kepada anak-anaknya. Sebagai
anak tertua seharusnya beban orang tua sudah menjadi bagian dari tanggung
jawabku, tapi inilah aku dan mewakili setidaknya 8 dari 10 pemuda Bulukumba.
Pemuda yang lebih suka disoraki daripada Sholat, lebih mementingkan eksistensi
dibanding budi pekerti, yang lebih senang menyusahkan dan sangat susah
menyenangkan, lebih patuh kepada pacar dan teman daripada orang tua.
“Heh… Bangun meko, jam setengah tujuh mi *jekke natilakko
Bu Sadariahnu “ begitu lantang dan penuh semangat. “ Iye *Puang, dari tadi ja’
bangun” ucapku kepada Rian, Rian ini sahabatku, sahabat sepenanggungan yang
selama ini sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Aku dan Rian berasal dari
sebuah kampung kecil yang letaknya cukup jauh dari perkotaan, kampung yang
jalannya masih berhiaskan batu krikil, yang ketika malam mesti belajar dengan *sulo,
sebuah tempat yang sebenarnya surga ketika diselimuti cahaya. Tempat yang bukan
tempat kelahiran *mereka, mereka yang merasa kampung ini bukan bagian
Bulukumba. Kampung yang sewaktu-waktu penuh dengan barang mewah walaupun
sekedar baliho dan pamphlet, terlebih lagi ketika mereka punya niat untuk
menambah kedudukan dan menambah jarak dari orang-orang seperti aku dan penduduk
di kampung-kampung. Inilah alasannya kenapa Aku dan Rian datang dari jauh untuk
menuntut ilmu walau harus hidup jauh dari keluarga dan menghabiskan tabungan
untuk mengontrak di 3x4 tanpa jendela seperti sekarang ini.
Aku dan Rian bersekolah di tempat yang berbeda, aku
sekolah di salah satu sekolah kejuruan terbaik di Bulukumba dengan jurursan
Administrasi Perkanotran dengan harapan bisa menjadi salah satu diantara
mereka, sedangkan Rian lebih memilih SMA karena ingin mewujudkan cita-citanya
sebagai seorang Polisi Lalu Lintas yang benar-benar professional. Polisi yang
benar-benar jujur ”katanya”. Karena perbedaan pola pikir dan ilmu yang kami
peroleh membuat kami mampu untuk saling mengisi, bukan untuk memperbesar-besar perbedaan
dan memandang suatu permasalahan sebagai konflik. Kami yakin semua persoalan
yang dihadapi bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana. Kami tidak seperti
mereka yang menganggap konflik sebagai kesempatan dan memanfaatkan kesempatan
untuk menambah luas sawah dan keangkuhan.
Sudah seminggu Aku dan Rian tinggal di kota, rasa
rindu kampung halaman sering bahkan hampir tiap waktu kami rasakan. Seperti
pagi ini, terasa asing dibangunkan oleh teman, cukup aneh ketika mesti menghirup
udara pagi tanpa riuh adik-adikku yang biasanya berlomba-lomba untuk mandi.
Bahkan sering juga aku rindu dengan Ibu,Ibuku yang sering berbohong. Tapi
berkat bualannya yang mulia inilah, yang banyak mengajarkan akan arti penting
kedisiplinan, bualan yang membuatku menjadi anak yang soleh dan punya cita-cita
tinggi. Bualan yang mungkin belum banyak disadari oleh remaja Bulukumba. “
Bangun meko,jam 8 mi” inilah bualan yang paling Mulia dari Ibuku. Kalangkabut
dengan kepala pusing bangun dan lihatlah jam, ternyata pukul 5 subuh, luar
biasa hal seperti ini yang membuatku selalu rindu kepada kampung halamanku.
“ Bro, ayo’ mi eh. Bangun meko, terlambatki sebentar
“ sembari mengenakan baju putih yang kusut dengan jahitan benang merah jambu
diketiaknya, sungguh semangat yang luar biasa anak remaja yang satu ini, Yah.
Rian yang tumbuh dari keluarga kurang mampu dan berasal dari kampung sederhana,
tentunya sudah kenyang dengan celaan dari anak-anak shuffle yang sekarang
menjamur di Bulukumba. Tapi semangatnya inilah yang menjadikan Rian sebagai
anak yang berprestasi dan cerdas, tapi inilah Bulukumba. Kota sejahtera bagi
yang sejahtera, kota yang memberi prestasi berdasarkan kedudukan orang tua.
Rian sering mengemukakan banyak hal yang
luar biasa kepadaku, tapi dianggap berlebihan dan omong kosong oleh teman-teman
sekolahnya. Ironi betul anak cerdas di Bulukumba, harus mendapat sikap
diskriminasi karena menuntut ilmu di sekolah yang penuh dengan anak-anak
mereka.
“ iya, tunggumi,” Bangun di pagi buta, mulailah
embun menyelimuti tubuh kurus kering ini menuju ke kamar mandi”
Bismilillahirrahmaanirrahiim” ku basuh tanganku lalu berniat sembari membasuh
wajah yang sedang rindu dan selalu rindu. Tampak Rian telah bersiap-siap untuk
mengadu dan memohon restu kepada Yang Maha Esa . “ Bro, sayapi yang jadi imam “
uajrku kepada Rian, dan heninglah 3x4 tanpa jendela ini. Setelah shalat
bergegaslah kami mengisi botol dengan air minum, air minum yang selama beberapa
hari ini menjadi penyanggah perut kami ketika sedang berjihad menuntut ilmu.
Saya yakin betul, jika kami berusaha dengan ikhlas pasti harapan kami bisa
terwujud. Amin !
“ Hore…. “ kata inilah yang akhir-akhir ini
sering terdengar di kelasku, yah.. rasa senang teman-teman karena guru yang
berhalangan masuk mengajar, begitu senangnya mereka ketika harus kehilangan
ilmu, dan begitu seringnya keluh kesahku kepada Bapak/Ibu Guru yang kikir
membagi waktu dan ilmunya, padahal aku yakin yang mereka terima tiap bulan adalah
perjanjian bahwa Bapak/Ibu guruku ini berkewajiban mengajar dan mendidik kami.
Inilah Bulukumba, dimana malas dan egois masih menjadi nomor satu dan
profesionalisme dinomor sekiankan. Bahkan pernah suatu ketika Pamong Praja yang
biasa menertibkan ternak berkeliaran di kota ternyata menertibkan siswa dan
“katanya” pernah menertibkan yang berbaju keki di Pasar sentral. Tapi sudahlah,
mereka lebih mengerti tentang hal yang seperti ini.
Banyak hal yang jauh dari harapanku dan Rian tentang
Bulukumba khususnya di kota, kami tidak
bisa ikut shuffle, bermalam di warkop, duduk di Merpati, parkir motor ataupun
hal-hal modern yang jelas bertentangan dengan pikiran kami. Tugasku dan Rian
adalah belajar, membiasakan diri menjadi orang yang jujur dan professional dalam
melakukan sesuatu, kami bertekad untuk senantiasa menjaga kepercayaan orang tua
dan satu hal yang selalu ku impi-impikan,yaitu menjadi Phinisi. Menjadi nahkoda
yang jujur dan senantiasa berakhlak mulia, bukan seperti mereka, bukan pula
nahkoda yang hanya mau mengangkut keluarga dan kerabat untuk berlayar.
Jika aku adalah
phinisi akan kubawa jauh berlayar Bulukumba.
Jauh dari mereka yang menyekat Bulukumba jadi beberapa daerah milik mereka
sendiri dan kerabanya, jauh dari moderenisasi yang berakhlak buruk, sangat jauh
sampai segala yang buruk tenggalam dan hilang dari Butta Panria Lopi. Akan
kubawa Bulukumba ke tempat dimana semua kembali suci, dimana tanahnya subur dan
senantiasa subur, tinggalkan kubur bagi mereka yang selalu berpikiran kabur
tentang Bulukumba. Jika aku adalah
phinisi biarkan kuantar Rian ke sekolah supaya teman-temannya menghargai
sang calon Polisi jujur ini, akan kaungkut keluarga-keluarga dan masyarakat
kampungku biar semua tahu di luar Kota Bulukumba ada Bulukumba yang lain,
Bulukumba yang senantiasa ingin dilalui mobil mewah dan lampu yang terang
ketika malam.
Oleh
: Muhammad Resky Ismail
|