Monday, July 8, 2013

Jika Aku Adalah Phinisi

JIKA AKU ADALAH PHINISI
Lalu terdiam dan pecahlah kebekuan ! dimana matahari ? dimana suara lantang Ibuku yang hampir setiap pagi membangunkanku dengan bualannya yang mulia. Dimana suara riuh adik-adikku yang biasanya sibuk menyibukkan Orang tuaku yang luar biasa pengasih kepada anak-anaknya. Sebagai anak tertua seharusnya beban orang tua sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku, tapi inilah aku dan mewakili setidaknya 8 dari 10 pemuda Bulukumba. Pemuda yang lebih suka disoraki daripada Sholat, lebih mementingkan eksistensi dibanding budi pekerti, yang lebih senang menyusahkan dan sangat susah menyenangkan, lebih patuh kepada pacar dan teman daripada orang tua.
“Heh… Bangun meko, jam setengah tujuh mi *jekke natilakko Bu Sadariahnu “ begitu lantang dan penuh semangat. “ Iye *Puang, dari tadi ja’ bangun” ucapku kepada Rian, Rian ini sahabatku, sahabat sepenanggungan yang selama ini sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Aku dan Rian berasal dari sebuah kampung kecil yang letaknya cukup jauh dari perkotaan, kampung yang jalannya masih berhiaskan batu krikil, yang ketika malam mesti belajar dengan *sulo, sebuah tempat yang sebenarnya surga ketika diselimuti cahaya. Tempat yang bukan tempat kelahiran *mereka, mereka yang merasa kampung ini bukan bagian Bulukumba. Kampung yang sewaktu-waktu penuh dengan barang mewah walaupun sekedar baliho dan pamphlet, terlebih lagi ketika mereka punya niat untuk menambah kedudukan dan menambah jarak dari orang-orang seperti aku dan penduduk di kampung-kampung. Inilah alasannya kenapa Aku dan Rian datang dari jauh untuk menuntut ilmu walau harus hidup jauh dari keluarga dan menghabiskan tabungan untuk mengontrak di 3x4 tanpa jendela seperti sekarang ini.
Aku dan Rian bersekolah di tempat yang berbeda, aku sekolah di salah satu sekolah kejuruan terbaik di Bulukumba dengan jurursan Administrasi Perkanotran dengan harapan bisa menjadi salah satu diantara mereka, sedangkan Rian lebih memilih SMA karena ingin mewujudkan cita-citanya sebagai seorang Polisi Lalu Lintas yang benar-benar professional. Polisi yang benar-benar jujur ”katanya”. Karena perbedaan pola pikir dan ilmu yang kami peroleh membuat kami mampu untuk saling mengisi, bukan untuk memperbesar-besar perbedaan dan memandang suatu permasalahan sebagai konflik. Kami yakin semua persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana. Kami tidak seperti mereka yang menganggap konflik sebagai kesempatan dan memanfaatkan kesempatan untuk menambah luas sawah dan keangkuhan.
Sudah seminggu Aku dan Rian tinggal di kota, rasa rindu kampung halaman sering bahkan hampir tiap waktu kami rasakan. Seperti pagi ini, terasa asing dibangunkan oleh teman, cukup aneh ketika mesti menghirup udara pagi tanpa riuh adik-adikku yang biasanya berlomba-lomba untuk mandi. Bahkan sering juga aku rindu dengan Ibu,Ibuku yang sering berbohong. Tapi berkat bualannya yang mulia inilah, yang banyak mengajarkan akan arti penting kedisiplinan, bualan yang membuatku menjadi anak yang soleh dan punya cita-cita tinggi. Bualan yang mungkin belum banyak disadari oleh remaja Bulukumba. “ Bangun meko,jam 8 mi” inilah bualan yang paling Mulia dari Ibuku. Kalangkabut dengan kepala pusing bangun dan lihatlah jam, ternyata pukul 5 subuh, luar biasa hal seperti ini yang membuatku selalu rindu kepada kampung halamanku.
“ Bro, ayo’ mi eh. Bangun meko, terlambatki sebentar “ sembari mengenakan baju putih yang kusut dengan jahitan benang merah jambu diketiaknya, sungguh semangat yang luar biasa anak remaja yang satu ini, Yah. Rian yang tumbuh dari keluarga kurang mampu dan berasal dari kampung sederhana, tentunya sudah kenyang dengan celaan dari anak-anak shuffle yang sekarang menjamur di Bulukumba. Tapi semangatnya inilah yang menjadikan Rian sebagai anak yang berprestasi dan cerdas, tapi inilah Bulukumba. Kota sejahtera bagi yang sejahtera, kota yang memberi prestasi berdasarkan kedudukan orang tua. Rian sering mengemukakan  banyak hal yang luar biasa kepadaku, tapi dianggap berlebihan dan omong kosong oleh teman-teman sekolahnya. Ironi betul anak cerdas di Bulukumba, harus mendapat sikap diskriminasi karena menuntut ilmu di sekolah yang penuh dengan anak-anak mereka.
“ iya, tunggumi,” Bangun di pagi buta, mulailah embun menyelimuti tubuh kurus kering ini menuju ke kamar mandi” Bismilillahirrahmaanirrahiim” ku basuh tanganku lalu berniat sembari membasuh wajah yang sedang rindu dan selalu rindu. Tampak Rian telah bersiap-siap untuk mengadu dan memohon restu kepada Yang Maha Esa . “ Bro, sayapi yang jadi imam “ uajrku kepada Rian, dan heninglah 3x4 tanpa jendela ini. Setelah shalat bergegaslah kami mengisi botol dengan air minum, air minum yang selama beberapa hari ini menjadi penyanggah perut kami ketika sedang berjihad menuntut ilmu. Saya yakin betul, jika kami berusaha dengan ikhlas pasti harapan kami bisa terwujud. Amin !
 “  Hore…. “ kata inilah yang akhir-akhir ini sering terdengar di kelasku, yah.. rasa senang teman-teman karena guru yang berhalangan masuk mengajar, begitu senangnya mereka ketika harus kehilangan ilmu, dan begitu seringnya keluh kesahku kepada Bapak/Ibu Guru yang kikir membagi waktu dan ilmunya, padahal aku yakin yang mereka terima tiap bulan adalah perjanjian bahwa Bapak/Ibu guruku ini berkewajiban mengajar dan mendidik kami. Inilah Bulukumba, dimana malas dan egois masih menjadi nomor satu dan profesionalisme dinomor sekiankan. Bahkan pernah suatu ketika Pamong Praja yang biasa menertibkan ternak berkeliaran di kota ternyata menertibkan siswa dan “katanya” pernah menertibkan yang berbaju keki di Pasar sentral. Tapi sudahlah, mereka lebih mengerti tentang hal yang seperti ini.
Banyak hal yang jauh dari harapanku dan Rian tentang Bulukumba khususnya di  kota, kami tidak bisa ikut shuffle, bermalam di warkop, duduk di Merpati, parkir motor ataupun hal-hal modern yang jelas bertentangan dengan pikiran kami. Tugasku dan Rian adalah belajar, membiasakan diri menjadi orang yang jujur dan professional dalam melakukan sesuatu, kami bertekad untuk senantiasa menjaga kepercayaan orang tua dan satu hal yang selalu ku impi-impikan,yaitu menjadi Phinisi. Menjadi nahkoda yang jujur dan senantiasa berakhlak mulia, bukan seperti mereka, bukan pula nahkoda yang hanya mau mengangkut keluarga dan kerabat untuk berlayar.  
Jika aku adalah phinisi akan kubawa jauh berlayar Bulukumba. Jauh dari mereka yang menyekat Bulukumba jadi beberapa daerah milik mereka sendiri dan kerabanya, jauh dari moderenisasi yang berakhlak buruk, sangat jauh sampai segala yang buruk tenggalam dan hilang dari Butta Panria Lopi. Akan kubawa Bulukumba ke tempat dimana semua kembali suci, dimana tanahnya subur dan senantiasa subur, tinggalkan kubur bagi mereka yang selalu berpikiran kabur tentang Bulukumba. Jika aku adalah phinisi biarkan kuantar Rian ke sekolah supaya teman-temannya menghargai sang calon Polisi jujur ini, akan kaungkut keluarga-keluarga dan masyarakat kampungku biar semua tahu di luar Kota Bulukumba ada Bulukumba yang lain, Bulukumba yang senantiasa ingin dilalui mobil mewah dan lampu yang terang ketika malam.
                                                                        Oleh : Muhammad Resky Ismail

*) jekke natilakko : Bahasa Bugis yang artinya nanti kamu di Tilang
*) Puang : Bahasa Bugis Untuk orang yang dituakan atau dihormati
*) sulo : Sejenis pelita yang terbuat dari kaleng bekas diisi minyak tanah dan diberi sumbu
*) mereka : Para pejabat
 
 
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kita dalam Kata

BTemplates.com

Powered by Blogger.

Berita Harian

Pages - Menu

Popular Posts

Popular Posts