KH. Jalaluddin Rakhmat
Dalam buku The Art of Loving, atau Seni Mencinta, Erich Fromm menulis bahwa para manusia modern sesungguhnya adalah orang-orang yang menderita. Penderitaan tersebut diakibatkan karena kehausan mereka untuk dicintai oleh orang lain. Mereka berusaha keras melakukan apa saja agar dapat dicintai. Anak-anak muda akhirnya terjerumus ke dalam pergaulan bebas karena mereka ingin dicintai dan diterima oleh kawan-kawan sebayanya. Para istri berjuang untuk menguruskan tubuh mereka agar dicintai oleh para suami mereka. Para politisi tidak segan-segan berdusta dan menipu orang agar dicintai oleh para pemilih dan pengikut mereka.
Yang dilakukan oleh manusia modern adalah upaya untuk dicintai, bukannya upaya untuk mencintai. Dalam dunia modern, kita menemukan bahwa semakin keras manusia berusaha untuk dicintai, semakin sering pula mereka gagal dan dikecewakan. Adalah sangat sulit untuk memperoleh kecintaan seluruh manusia. Kecintaan semacam ini adalah tujuan yang takkan pernah bisa dicapai karena selalu saja ada orang yang membenci orang yang lain. Manusia selalu dikelilingi oleh dua jenis orang; yang mencintai dan yang membenci dirinya.
Oleh sebab itu, manusia modern mengalami gangguan psikologis karena kegagalan untuk dicintai. Buku The Art of Loving mengisahkan para istri yang akhirnya harus mengisi malam-malam mereka dengan tangisan dan penderitaan karena tak kunjung memperoleh cinta suami mereka. Pada satu bagian dalam buku itu, Fromm menulis: “Mungkin sudah waktunya kita beritahu mereka untuk belajar mencintai.”
Hal ini mengingatkan saya akan buku lain yang berjudul The Mismeasures of Women, atau Kesalah-ukuran Perempuan. Buku ini bercerita bahwa sepanjang sejarah, kecantikan wanita itu diukur bukan oleh wanita itu sendiri, melainkan oleh kaum lelaki. Pernah pada satu masa, yang disebut sebagai wanita jelita adalah perempuan yang bertubuh gemuk. Lukisan-lukisan di zaman Renaissans menggambarkan wanita-wanita telanjang dengan berbagai gumpalan lemak di tubuh mereka. Pada zaman itu, perempuan berusaha menggemukkan tubuhnya dengan obat-obatan, yang terkadang amat berbahaya, agar dianggap rupawan dan dicintai lawan jenisnya. Lalu datanglah satu masa ketika seorang perempuan disebut cantik bila tubuhnya kurus kering. Dunia kecantikan internasional pernah mengenal seorang model ternama yang disebut dengan Miss Twiggy, Nona Ranting. Perempuan cantik adalah mereka yang bertubuh seperti ranting kayu, tinggi dan langsing. Seluruh perempuan di dunia kemudian berlomba-lomba menguruskan tubuhnya dengan menahan nafsu makan dan melaparkan diri. Mereka melakukan puasa yang khusus dijalankan untuk memperoleh kecintaan lelaki; mereka menyebutnya diet.
Jika target kita dalam hidup ialah untuk memperoleh kecintaan sesama manusia, kita akan selalu menemui kekecewaan. Hal ini disebabkan karena kecintaan makhluk itu bersifat sangat sementara atau temporer. Dalam Manthiq Al-Thayr, atau Musyawarah Para Burung, Fariduddin Attar berkisah tentang kelompok para burung yang tengah mencari imam mereka. Burung-burung itu memilih Hudhud sebagai pemimpin karena ia dianggap burung yang paling kaya akan pengalaman. Hudhudlah yang menjadi penyampai pesan dari Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis dan Hudhud pulalah yang menjadi utusan Nabi Nuh untuk mencari sebidang daratan kering ketika sebagian dunia yang lain dilanda air bah.
Meskipun seluruh burung meminta Hudhud menjadi pemimpin mereka, Hudhud tetap berkeberatan. Ia malah berkata, “Sesungguhnya pemimpin kalian berada di Bukit Kaf, namanya Simurgh. Ke sanalah kalian pergi menuju.” Hudhud lalu menggambarkan keindahan Simurgh sedemikian rupa sehingga para burung yang lain jatuh cinta.
Para burung pun memohon agar Hudhud mau mengantarkan mereka ke hadapan Simurgh. Namun sebelum mengajak mereka ikut serta, Hudhud terlebih dahulu menceritakan beratnya perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Simurgh. Setelah mendengar betapa sukarnya jalan yang akan dilalui, sebagian besar burung mengurungkan niatnya. Burung Bulbul mengajukan keberatannya, “Aku mencintai Simurgh dan ingin menjumpainya, namun sekarang ini cintaku telah terpatri kepada setangkai bunga mawar. Jika kupikirkan tentang kelopak mawar yang merekah, kurasa aku tak perlu lagi berpikir akan Simurgh. Cukuplah bagiku keindahan mawar itu. Kuyakin sepenuhnya mawar itu akan selalu megembangkan putik-putik sarinya karena kecintaannya jua kepadaku. Aku tak bisa hidup bila harus meninggalkannya. Aku tak mau hidup bila tak dapat lagi memandang rekahan mawar itu.”
Lalu Hudhud berkata, “Ketahuilah, kecintaan kamu terhadap mawar itu adalah kecintaan yang palsu. Janganlah engkau terpesona akan keindahan lahiriah. Mawar hanya merekah di musim semi. Begitu tiba musim gugur, mawar akan menggugurkan kelopaknya. Ia akan menertawakan cintamu….”
Melalui kisah ini, Fariduddin Attar mengajarkan bahwa sesungguhnya kecintaan makhluk itu adalah sementara. Seorang istri, yang berusaha keras untuk meraih cinta suaminya, akhirnya akan menemukan bahwa cinta suaminya itu datang dan pergi. Suaminya tak mencintai ia untuk sepanjang masa. Ada masa ketika cinta suaminya berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Demikian pula sebaliknya, seorang suami tak akan memperoleh cinta yang kekal dari istrinya. Kecintaan manusia takkan pernah