sengaja ku tulis rasa pada
hening dekapan angin.
Menyanyikan rindu dengan
irama-irama yang sendu,
Ingin ku membawa duka menari
di angkasa, tapi pekat awan semakin erat memelukku, jiwaku remuk bagai dedaunan
di musim kemarau, tak ku temui hijau seperti kemarin.
Adinda yang memaksaku tuk
menulis tentang sepi,
maaf, jika diksi yang ku pilih
beraroma fiksi, atau mungkin tak kau sukai,
aku tak akan pernah bisa
melukismu dalam kesendirian, sebab kesendirian adalah sunyi, sunyi adalah
hampa, dan hampa bukanlah apa-apa.
Sementara zat dan rekah
senyummu telah berpadu pada tiap garis, tiap baris, tiap frasa dan tiap rasa
dari bahasaku. Tak pantas kau tuk ku abadikan dalam sajak-sajak atau puisi
sepi.
Adinda, lihatlah ke langit
luas, pandangi tiap-tiap warna yang hinggap di dahan dan ranting malam, kau tak
pernah melukis merah atau biru, tak salah jika malam tak pernah memberimu warna
selain gelap dan sedikit cahayanya.
Maaf jika ku sebut kau sebagai
adinda, dan maaf jika pintamu tuk menyendiri tak mampu ku kabulkan lewat
berkata, Adinda.
Jika waktu telah menyentuh
sejuk mentari esok, dandanilah senyummu dan warnai langit, serta dengar
permohonanku agar tak pernah lagi kau memaksaku tuk membacamu dengan sunyi.
Karena Tuhan dan keindahan Cintanya akan selalu ada dan paling dekat denganmu.
Makassar, 04 Nov. 2014
0 komentar:
Post a Comment