Friday, October 10, 2014

Sistem Kekuasaan di Indonesia

Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945 misalnya, Soepomo menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin Trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan. Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945:
a.    Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
b.    Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3
bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja.
c.    Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya.
Menurut Jimly Asshidiqie dan Ni’Matul Huda
Seiring perubahan konstitusi lewat amandemen UUD 1945, terjadi pula pergeseran konsep pembatasan kekuasaan Indonesia. Menarik untuk mencermati pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa pasca perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :

1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya seperti BPK.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Senada dengan Jimly, Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa Indonesia kini menganut sistem pemisahan kekuasaan. Ni’matul Huda mengilustrasikan pemisahan kekuasaan di Indonesia lewat pergeseran kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

Saya berpendapat bahwa tidak sepenuhnya benar mengatakan bahwa Indonesia secara mutlak menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sebab, dalam hal tertentu masih terkandung pula sistem pembatasan kekuasaan meskipun dalam format lain. Artinya, di samping menganut sistem pemisahan kekuasaan, Indonesia ternyata masih menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Memang dalam konteks tertentu bisa dikatakan konstitusi Indonesia menekankan lebih dominannya warna dan doktrin pemisahan kekuasaan ketimbang pembagian kekuasaan. Namun demikian tidak berarti doktrin pembagian kekuasaan itu tidak ada sama sekali.
Doktrin pembagian kekuasaan tersebut terlihat pada kekuasaan membentuk undang-undang. Di negara yang menganut sistem presidensial, fungsi pembentukan undang-undang (legislasi) menjadi domain legislatif. Kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial justeru mengandung makna bahwa yang ada bukanlah pemisahan kekuasaan namun tercipta pembagian kekuasaan khususnya dalam pembentukan undang-undang.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kita dalam Kata

BTemplates.com

Powered by Blogger.

Berita Harian

Pages - Menu

Popular Posts

Popular Posts