Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power
(Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi
menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Dalam
sidang-sidang BPUPKI 1945 misalnya, Soepomo menegaskan bahwa UUD 1945 tidak
menganut doktrin Trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan
menganut sistem pembagian kekuasaan. Hal-hal yang mendukung argumentasi
tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945:
a. Tidak
membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu
organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
b. Tidak
membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3
bagian saja dan juga tidak membatasi
kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja.
c. Tidak
membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada
lembaga-lembaga negara lainnya.
Menurut Jimly Asshidiqie dan Ni’Matul
Huda
Seiring perubahan konstitusi lewat amandemen UUD 1945,
terjadi pula pergeseran konsep pembatasan kekuasaan Indonesia. Menarik untuk
mencermati pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengatakan bahwa pasca perubahan UUD
1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Indonesia telah
menganut doktrin pemisahan kekuasaan secara nyata. Beberapa yang mendukung hal
itu antara lain adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan
Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas
undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana
sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat
menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu
tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak
langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara
lainnya seperti BPK.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat
saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Senada dengan Jimly, Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa
Indonesia kini menganut sistem pemisahan kekuasaan. Ni’matul Huda
mengilustrasikan pemisahan kekuasaan di Indonesia lewat pergeseran kewenangan
membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan
bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk
memperkuat sistem presidensial.
Saya berpendapat bahwa tidak sepenuhnya benar mengatakan
bahwa Indonesia secara mutlak menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation
of power). Sebab, dalam hal tertentu masih terkandung pula sistem pembatasan
kekuasaan meskipun dalam format lain. Artinya, di samping menganut sistem
pemisahan kekuasaan, Indonesia ternyata masih menganut sistem pembagian
kekuasaan (distribution of power). Memang dalam konteks tertentu bisa dikatakan
konstitusi Indonesia menekankan lebih dominannya warna dan doktrin pemisahan
kekuasaan ketimbang pembagian kekuasaan. Namun demikian tidak berarti doktrin
pembagian kekuasaan itu tidak ada sama sekali.
Doktrin pembagian kekuasaan tersebut terlihat pada kekuasaan membentuk undang-undang. Di negara yang menganut sistem presidensial, fungsi pembentukan undang-undang (legislasi) menjadi domain legislatif. Kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial justeru mengandung makna bahwa yang ada bukanlah pemisahan kekuasaan namun tercipta pembagian kekuasaan khususnya dalam pembentukan undang-undang.
Doktrin pembagian kekuasaan tersebut terlihat pada kekuasaan membentuk undang-undang. Di negara yang menganut sistem presidensial, fungsi pembentukan undang-undang (legislasi) menjadi domain legislatif. Kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi domain DPR untuk mendapat persetujuan bersama Presiden sebagai langkah penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial justeru mengandung makna bahwa yang ada bukanlah pemisahan kekuasaan namun tercipta pembagian kekuasaan khususnya dalam pembentukan undang-undang.
0 komentar:
Post a Comment